Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqd

Orang yang memiliki wewenang untuk mengambil suatu kebijakan dalam suatu pemerintahan yang didasarkan pada prinsip musyawarah disebut Ahl al-hall wa al-‘Aqd. Dalam pengertian bahasa, istilah ini berarti “orang yang melepas dan mengikat”.

Di akhir pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, dalam rangka mengatasi masalah penggantinya setelah dia meninggal dunia, para pendampingnya menyarankan agar Umar menunjuk pengganti sebagaimana dilakukan Abu Bakar as-Siddiq. Namun Umar enggan untuk menentukan penggantinya. Sebagai jalan keluar, Umar bin Khattab menunjuk enam orang sahabat sebagai pengambil kebijaksanaan yang akan menunjuk penggantinya.

Keenam orang tersebut adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa‘d bin Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin Auf. Keenam orang ini dikatakan oleh sejarawan Islam sebagai Ahl al-Hall wa al-‘Aqd pertama dalam Islam. Mereka inilah yang kemudian bermusyawarah untuk menentukan khalifah yang menggantikan Umar.

Lembaga Ahl al-Hall wa al-‘Aqd di zaman Khalifah Usman tidak ada lagi secara permanen. Tempat musyawarah untuk mengambil kebijakan dalam menjalankan roda pemerintahannya tidak terlembaga, tetapi hanya dengan melakukan musyawarah yang tidak rutin bersama beberapa sahabat yang berbeda-beda pula.

Di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib, lembaga ini pun semakin kabur karena situasi politik yang dihadapi Ali pada waktu itu, yakni gangguan stabilitas negara yang berkepanjangan. Pada masa pemerintahan Dinasti Bani Umayah dan Abbasiyah lembaga Ahl al-Hall wa al-‘Aqd tidak pernah tercatat dalam sejarah karena corak pemerintahan yang selama ini ditegakkan atas dasar musyawarah sudah berubah menjadi kerajaan.

Selanjutnya istilah Ahl al-Hall wa al-‘Aqd muncul kembali dalam konsep kekhalifahan yang diajukan Syekh Muhammad Rasyid Rida di Mesir. Gambaran yang diajukannya sama dengan apa yang dilakukan oleh Umar. Di Pakistan konsep ini mencuat kembali melalui tokoh pemikir Islam, Abul A’la al-Maududi. Hal ini dilakukannya tatkala ia ikut menyumbangkan pemikirannya dalam menata sistem politik negara Islam Pakistan yang baru berdiri.

Konsep Ahl al-Hall wa al-‘Aqd al-Maududi ini diajukan dalam bentuk ‘kekhalifahan kolektif’. Ada kecenderungan yang menunjukkan bahwa Ahl al-Hall wa al-‘Aqd yang diinginkan al-Maududi merupakan gabungan antara apa yang dilaksanakan Umar dan konsep dewan perwakilan rakyat yang dikenal pada abad modern ini.

Di akhir abad ke-20, lembaga Ahl al-Hall wa al-‘Aqd, menurut pengamatan sebagian ahli, direalisasi oleh negara Syiah modern Iran dengan nama Dewan Maslahat. Dewan ini dipilih oleh rakyat dan merekalah yang bermusyawarah untuk menentukan siapa yang berhak menduduki jabatan imam (penguasa spiritual negara Islam Iran). Di Indonesia, istilah Ahl al-Hall wa al-‘Aqd pernah muncul dan diterapkan oleh organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) pada masa pemerintahan Soekarno dan ia diberi gelar ahli al-Hilli wa al-‘Iqd.

Daftar Pustaka

Adams, Charles C. Islam and Modernism in Egypt. London: Oxford University Press, 1935.
al-Aqqad, Abbas Mahmud. ‘Abqariyyah ‘Umar bin al-Khattab. Beirut: Dar al-Fikr,1980.
al-Maududi, Abul A’la. Teori Politik Islam, terj. H Adnan Syammi. Jakarta: Media Dakwah, 1985.
–––––––. Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1984.
al-Mawardi, Abu Hasan. al-Ahkam as-Sultaniyyah. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1973.
Rida, Muhammad Rasyid. al-Khilafah wa al-Imamah al-‘Udhma. Cairo: Matba‘ah al-Manar al-Misriyah, 1341  H/1922 M.
–––––––. al-Wahy al-Muhammadi. Cairo: Penerbit al-Qahirah, 1960.
Syibli, Nu’mani. al-Farook: Life of Omar the Great, Second Caliph of Islam. Lahore: Muhammad Ashraf, 1976.

Nasrun Haroen