Agus Salim adalah seorang intelektual dan pejuang Islam yang selama setengah abad memberikan baktinya untuk bangsa Indonesia dan agama. Ia juga seorang pemimpin politik kaliber internasional, pengarang, orator, dan diplomat ulung. Ia menguasai banyak bahasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas, termasuk dalam agama Islam.
Nama kecil Agus Salim adalah Masyudul Haq. Ia berasal dari lingkungan keluarga terkemuka pada masyarakat adat Minangkabau, putra kelima Sutan Muhammad Salim, yang 6 tahun setelah kelahiran Masyudul Haq diangkat menjadi Hoofdjaksa (Jaksa Tinggi) di wilayah Onderhorigheden (daerah bawahan) Riau.
Setamat dari ELS (Europeesche Lagere School, setingkat SD), Agus Salim meneruskan pendidikan pada sekolah menengah HBS (Hoogere Burger School) di Jakarta, sampai lulus pada 1903. Berita tentang prestasi terakhirnya yang sangat istimewa di HBS menarik perhatian R.A. Kartini (5 tahun lebih senior) untuk turut mendukung rencana studinya ke Belanda. Tetapi rencana itu akhirnya gagal.
Setelah beberapa tahun bertualang ke berbagai tempat, ia kemudian menerima tawaran kerja pada Konsulat Kerajaan Belanda di Jiddah (1906–1911) selaku dragoman (ahli penerjemah). Di sana ia dapat mengambil banyak kesempatan untuk memperdalam pengetahuan agama serta memperkaya informasi tentang dunia Islam. Ia pulang ke tanah air dengan kemampuan diplomasi yang tinggi, menguasai tidak kurang dari tujuh bahasa (Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki, dan Jepang), dan semakin bertekad bulat untuk mengabdi untuk membangkitkan kesadaran akan cita-cita kemerdekaan.
Sekembalinya ke Indonesia, Agus Salim mulamula bekerja pada Jawatan Pekerjaan Umum di Jakarta, kemudian pulang ke Kota Gedang dan membuka HIS (Hollandsch Inlandsche School, setingkat SD untuk anak bumiputera golongan atas) partikelir di sana.
Tiga tahun kemudian ia kembali ke Jakarta. Sesudah bekerja sebentar pada lembaga penerjemah Translateur Ladische Drukkerij, ia selanjutnya memimpin harian Neratja (1917). Kemudian ia diangkat menjadi pemimpin redaksi pada Commissie voor de Volkslectuur, sebuah badan penerbit yang berkembang menjadi Balai Pustaka.
Pada 1917–1919, ia menjadi redaktur surat kabar Belanda Bataviasch Nieuwsblad. Agus Salim pernah beberapa kali keluarmasuk berbagai organisasi, seperti Perkumpulan Teosofi, NIVB (Nederlands Indische Vrijzinnigen Bond), dan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging).
Latar belakang pendidikan serta pemahaman agama Agus Salim turut menentukan perjuangan yang dipilihnya. Setelah mendalami seluk-beluk Sarekat Islam (SI), ia bergabung dengan partai itu. Dalam waktu singkat ia menjadi tangan kanan HOS Tjokroaminoto dalam kepemimpinan SI. Ia pernah menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat, semacam DPR) selama satu periode (1922–1925) sebagai pengganti Tjokroaminoto.
Sewaktu SI disusupi unsur komunis (Semaun, Tan Malaka, Sudarsono, dan lain-lain), Agus Salim berhasil menegakkan disiplin partai dari keanggotaan dan pengaruh organisasi politik lain. Setelah Tjokroaminoto meninggal (1934), Agus Salim menggantikannya sebagai pemimpin partai, yang mulai pada 1930 berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Sesudah partai beberapa kali dilanda perpecahan, ia akhirnya keluar, tetapi tetap memimpin kelompok kecil Pergerakan Penyadar yang didirikannya bersama Mr. Mohamad Roem dan lain-lain pada 1936, terlepas dari PSII (1937).
Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Ia juga duduk dalam keanggotaan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Komite Bahasa Indonesia yang dibentuk oleh Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, Agus Salim bergabung dalam Partai Masyumi (1945). Selanjutnya ia menjadi menteri muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir II dan III (1946–1947), menteri Luar Negeri dalam Kabinet Amir Syarifuddin dan Kabinet Hatta (1947–1949).
Pada awal revolusi ia mengetuai delegasi Indonesia dalam Inter Asian Relations Conference di India dan berusaha membuka hubungan diplomatik dengan sejumlah negara Arab, terutama Mesir dan Arab Saudi. Ia pernah ditugaskan mewakili pemerintah RI menghadiri pelantikan Ratu Elizabeth II di London (1953).
Pada tahun itu juga Agus Salim menyampaikan kuliah mengenai kebudayaan Islam selaku dosen tamu di Cornell University, kemudian menghadiri Colloquium on Islamic Culture (seminar kebudayaan Islam) di Princeton University, Amerika Serikat.
Dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir, banyak gagasan yang pernah dilontarkannya dalam berbagai kesempatan. Menurutnya, tumbuhnya “harga diri” suatu bangsa berkaitan erat dengan munculnya sekelompok kaum terdidik yang memperoleh peran tertentu karena kesadaran inteleknya, bukan karena fasilitas dan kemudahan. Tetapi harga diri tidak akan berarti apabila kesadaran intelek itu dipengaruhi oleh faktor yang semata-mata bersifat duniawi. Faktor agama mutlak diperlukan dalam rangka pemantapan serta peningkatan harga diri untuk tujuan yang mulia.
Pada saat gencarnya kritik tajam dari kaum nasionalis terhadap ajaran Islam yang dipandang merendahkan martabat kaum wanita, Agus Salim muncul menjadi pembela Islam yang amat berani. Tabir pemisah dan perlakuan diskriminatif terhadap kaum wanita, sebagaimana ia kemukakan dalam rapat JIB (Jong Islamieten Bond) 1925, sebenarnya merupakan gejala umum dalam tradisi di mana-mana, dan itu justru bertentangan dengan ajaran Islam. Karena gejala umum itu bersifat kultural, maka pemecahannya mestilah bersifat kultural melalui pendidikan dengan memberikan kesempatan yang sama untuk pria maupun wanita.
Pendidikan itu mencakup tiga hal: (1) pendidikan badan supaya bertambah subur, kuat, dan elok; (2) pendidikan hati supaya bertambah baik budi pekerti; dan (3) pendidikan akal supaya bertambah banyak kepandaian dan pengetahuannya. Pendidikan jasmani, rohani, dan ilmiah berlaku bagi pria dan wanita.
Ketika api nasionalisme mulai berkobar di persada tanah air pada akhir tahun 1920-an, Agus Salim mensinyalir bahaya pengagungan cinta tanah air tanpa kendali. Bung Karno, selaku pemimpin nasionalis terkemuka, menyangkal kritik itu dengan tanggapannya berjudul “Kearah Persatoean”. Agus Salim sendiri mengakui bahwa antara dirinya dan Bung Karno, serta antara PSII yang diwakilinya dan PNI yang diwakili Bung Karno, terdapat persamaan dalam haluan (“cinta bangsa dan tanah air”), tujuan (“kemuliaan bangsa dan kemerdekaan tanah air”), dan tempat bergerak (“medan juang melawan politik penjajah”).
Jika ditelusuri kerangka pikiran kedua pemimpin ini, maka tampak bahwa perbedaan pendapat bertumpu pada perbedaan jawaban atas pertanyaan “untuk apa cinta tanah air itu”. Bung Karno berorientasi ke perjuangan kehidupan duniawi. Bagi Agus Salim, gerakan cinta tanah air tidak lagi terbatas pada usaha membebaskan tanah air dari belenggu penjajah, tidak lagi hanya terbatas pada kecintaan yang dikobarkan oleh nyiur hijau melambai atau kilauan emas dari padi menguning, melainkan juga ke tingkat lebih tinggi, yaitu mencintai tanah air, karena ini adalah anugerah Allah SWT. Dalam rangka beribadah kepadaNya-lah ia berjuang untuk memerdekakan tanah air dari tangan penjajah dan kemudian membangunnya.
Dua puluh tujuh hari sesudah ulang tahunnya yang ke-70, Agus Salim dipanggil menghadap Tuhan, kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Dari perkawinannya dengan Zainatun Nahar Almatsier, ia dikaruniai 10 anak, 2 di antaranya meninggal ketika masih kecil dan 1 lagi meninggal di medan tempur. Tercatat tiga tanda jasa anumerta untuk Agus Salim, yakni: (1) Bintang Mahaputera Tingkat I (17 Agustus 1960); (2) Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan (20 Mei 1961); dan (3) Penetapan sebagai “Pahlawan Kemerdekaan Nasional” dengan SK Presiden RI No. 657 (1961).
Agus Salim termasuk tokoh yang sangat produktif menuangkan buah pikirannya. Sekurang-kurangnya ada 35 naskah karangannya yang dihimpun oleh Tim Penyusun Buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984). Agus Salim juga seorang penerjemah yang produktif. Ia antara lain menerjemahkan buku sejarah dan sastra.
Daftar Pustaka
Djaja, Tamar. Pusaka Indonesia: Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Studi tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, atau Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942, terj. Jakarta: LP3ES, 1980.
–––––––. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Seratus Tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Muhammad Hasyim