Raja ketiga Kerajaan Mataram adalah Sultan Agung. Ia memerintah tahun 1613–1645 dan berhasil membawa Mataram ke puncak kejayaannya dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Wilayah kekuasaannya terbatas di sebagian besar Jawa, tapi ia mampu menjalin hubungan antarnegara ke luar wilayah Nusantara, seperti India dan tanah suci Mekah.
Nama kecil Sultan Agung adalah Pangeran Jatmiko dengan panggilan Raden Mas Rangsang. Ia adalah anak Panembahan Sedo Ing Krapyak (berkuasa 1601–1613) dan cucu Panembahan Senopati (berkuasa 1582–1601), pendiri Kerajaan Mataram.
Gelar “sultan” yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja sebelumnya, yaitu Panembahan Senopati dan Panembahan Sedo Ing Krapyak. Ia dinobatkan sebagai raja pada 1613 dalam umur sekitar 20 tahun, ketika masih menggunakan gelar “Panembahan”. Selanjutnya pada 1624, ia mengubah gelarnya menjadi “Susuhunan”.
Pada 1641 ia menerima pengakuan dari Mekah sebagai seorang sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya Sultan Agung Anyakrakusumo Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman (secara harfiah berarti raja yang agung, pangeran yang sakti, panglima perang, dan pemangku amanah Tuhan Yang Maha Kasih).
Sultan Agung bercita-cita memerintah seluruh Pulau Jawa, sehingga Kerajaan Mataram terlibat perang cukup panjang, baik dengan penguasa daerah maupun dengan VOC (Kompeni) yang mengincar Pulau Jawa sejak 1619. Pada awal kepemimpinannya, ia melakukan konsolidasi untuk memperoleh simpati penuh dari para penguasa di berbagai wilayah yang sebelumnya ingin memisahkan diri dari pemerintahan pusat Kerajaan Mataram akibat persaingan antarkeluarga raja sepeninggal Penembahan Senopati (1601).
Dalam jangka kurang lebih 6 tahun (1613–1619), Kerajaan Mataram menjadi kerajaan yang sangat kuat secara militer. Sesudah itu ia mulai memperluas kekuasa an ke daerah lain yang masih dikuasai oleh raja lokal tetapi memperoleh perlindungan dari VOC. Tahun 1627, seluruh Pulau Jawa, kecuali Kesultanan Banten dan wilayah kekuasaan Kompeni di Batavia, telah berhasil dipersatukan di bawah Mataram.
Sukses besar kekuatan militer memberikan kepercayaan kepada Sultan Agung untuk mengusir Kompeni yang masih bercokol di Batavia. Pada tahun 1628–1629 ia mengerahkan secara besar-besaran pasukannya untuk mengepung kota Batavia. Tetapi karena kuatnya pertahanan Belanda, setiap serbuan pasukan Sultan Agung dapat dipatahkan meskipun pasu kan Kompeni tidak berani menyerang secara langsung ke luar benteng. Akhirnya, ia gagal meraih kemenangan.
Di luar peranan politik militer, Sultan Agung dikenal sebagai penguasa yang menaruh perhatian besar terhadap perkembangan Islam di tanah Jawa. Ia adalah pemimpin yang taat beragama, sehingga banyak memperoleh simpati dari kalangan ulama. Ia secara teratur pergi ke masjid, dan para pembesar diharuskan mengikutinya. Untuk memperkuat suasana keagamaan, tradisi khitan, memendekkan rambut, dan mengenakan tutup kepala berwarna putih dinyatakan sebagai ketentuan syariat yang harus ditaati.
Bagi Sultan Agung, Mataram adalah kerajaan Islam yang mengemban amanat Tuhan di tanah Jawa. Struktur serta jabatan kepenghuluan dibangun dalam sistem kekuasaan kerajaan. Tradisi keagamaan, seperti salat Jumat di masjid, grebeg puasa (Ramadan), dan upaya pengamalan syariat Islam, merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan intern istana. Kalender Saka diubah menjadi sistem Tarikh dengan tahun Hijriah sebagai dasar perhitungan.
Demi kemegahan Kerajaan Mataram, Sultan Agung membangun istana di Desa Karta (kini Yogyakarta) dan kemudian memindahkan pusat pemerintahannya dari istana lama di Kotagede (di tenggara Yogyakarta) ke istana baru tersebut. Ia juga membangun istana peristirahatan di Kartasura. Untuk kesemarakan keraton, istana baru itu dilengkapi dengan pembuatan gamelan dan wayang kulit pada 1544 H/1622 M.
Ia selanjutnya membangun tempat pemakaman keluarga raja di Imogiri (12 km di selatan Yogyakarta), sementara raja pendahulunya dimakamkan di sebelah masjid Kotagede. Menjelang masa akhir hayatnya, Sultan Agung membuat peraturan yang bertujuan untuk mencegah perebutan takhta antara keluarga raja dan putra mahkota.
Daftar Pustaka
Achadiati S., Y., et al. Sari Penerbitan, Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Mataram Islam. Jakarta: Multiguna, 1988.
de Graff, H.J. Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati, terj. Jakarta: Grafiti Press, 1985.
–––––––. Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung, terj. Seri Terjemahan Javanologi. Jakarta: Grafiti Pers, 1986.
Masyhuri. “Mataram,” Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: Cipta Adipustaka, 1990.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Ras, J.J. Babad Tanah Djawi. Amsterdam: Foris Publications, 1987.
Muhammad Hasyim