Pengangkatan anak orang lain oleh suatu keluarga dengan maksud memelihara dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang seperti mereka memperlakukan anak kandung sendiri disebut adopsi. Dalam fikih, adopsi disebut dengan istilah tabanni.
Persoalan adopsi telah dikenal sejak zaman Jahiliah. Orang yang mengadopsi anak pada zaman itu memberlakukannya sebagai anak kandung, sehingga ibu angkat tidak bisa kawin dengan anak angkat, anak angkat dapat mewarisi harta peninggalan orangtua angkat atau sebaliknya, dan anak angkat memakai nasab orangtua angkatnya; sedangkan hubungannya dengan orangtua aslinya terputus.
Mahmud Syaltut, ulama dan pemikir Islam dari Mesir, mengemukakan dua pengertian adopsi. (1) Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan memperlakukannya sebagai anak sendiri tanpa memberi status anak kandung kepadanya. (2) Mengambil anak orang lain untuk diberi status anak kandung, sehingga ia berhak memakai nasab orangtua angkatnya dan mewarisi harta peninggalan dan hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orangtua. Pengertian yang kedua itu berangkat dari pengertian yang dipakai sebelum Islam.
Kasus anak angkat pada awal Islam adalah kasus keluarga Rasulullah SAW sendiri. Rasulullah SAW mempunyai seorang anak angkat yang bernama Zaid bin Harisah. Oleh para sahabat, Zaid telah dianggap sebagai anak Rasulullah SAW (sebagaimana yang berlaku di zaman Jahiliah), sehingga Zaid dinasabkan kepada Muhammad SAW, dengan memanggilnya Zaid bin Muhammad. Ibnu Umar menceritakan dalam sebuah riwayat: “Kami tidak memanggil Zaid bin Harisah kecuali dengan nama Zaid bin Muhammad” (HR. Abu Dawud). Kemudian turunlah firman Allah SWT dalam surah al‑Ahzab (33) ayat 4‑5 yang berarti:
“…dan Dia tidak menjadikan anak‑anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak‑anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak‑bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak‑bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara‑saudaramu seagama dan maula‑maulamu (sahabat‑sahabatmu). Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu….” sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan. Demikian juga dalam hal nasab, anak angkat tidak bisa memakai nasab ayah/ibu angkatnya.
Kasus Zaid bin Harisah yang dinasabkan para sahabat kepada Rasulullah SAW dengan panggilan Zaid bin Muhammad dan telah dianggap para sahabat sebagai anak angkat Nabi Muhammad SAW dibantah oleh ayat di atas, sehingga Zaid tetap dinasabkan kepada ayahnya, Harisah. Bahkan untuk membantah anggapan bahwa status anak angkat itu sama dengan anak kandung, Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW mengawini Zainab binti Jahsy, bekas istri Zaid bin Harisah. Pernyataan Allah SWT itu terdapat dalam surah al‑Ahzab ayat 37 yang berarti:
“…Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu (Muhammad) dengan dia (setelah habis masa idahnya) supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini istri‑istri anak‑anak angkat mereka, apabila anak‑anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya pada istri‑istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.”
Berdasarkan kedua ayat ini, jumhur ulama menyatakan bahwa hubungan antara ayah/ibu angkat dan anak angkatnya tidak lebih dari hubungan kasih sayang. Hubungan antara ayah/ibu angkat dan anak angkat tidak memberikan akibat hukum yang berkaitan dengan warisan, nasab, dan tidak saling mengharamkan perkawinan. Apabila ayah atau ibu angkat meninggal dunia, anak angkat tidak termasuk sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan.
Demikian juga dalam hal nasab, anak angkat tidak bisa memakai nasab ayah/ibu angkatnya. Kasus Zaid bin Harisah yang dinasabkan para sahabat kepada Rasulullah SAW dengan panggilan Zaid bin Muhammad dan telah dianggap para sahabat sebagai anak angkat Nabi Muhammad SAW dibantah oleh ayat di atas, sehingga Zaid tetap dinasabkan kepada ayahnya, Harisah.
Bahkan untuk membantah anggapan bahwa status anak angkat itu sama dengan anak kandung, Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW mengawini Zainab binti Jahsy, bekas istri Zaid bin Harisah. Pernyataan Allah SWT itu terdapat dalam surah al‑Ahzab ayat 37 yang berarti:
“…Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya ter-hadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu (Muhammad) dengan dia (setelah habis masa idahnya) supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini istri‑istri anak‑anak angkat mereka, apabila anak‑anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya pada istri‑istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.”
Menurut Masjfuk Zuhdi, pemikir hukum Islam dari Indonesia, ayat ini menegaskan dua hal, yaitu: (1) adopsi seperti praktek dan tradisi di zaman Jahiliah yang memberi status kepada anak angkat sama dengan status anak kandung tidak dibenarkan (dilarang) dan tidak diakui oleh Islam; dan (2) hubungan anak angkat dengan orangtua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi, tidak mempengaruhi hubungan kemahraman (bukan mahram) dan hubungan kewarisan (tidak berhak mendapat warisan), baik anak angkat itu diambil dari kerabat sendiri maupun dari luar lingkungan kerabat.
Menurut Wahbah az‑Zuhaili, ahli fikih Mesir, sekalipun hak anak angkat tidak sama dengan hak anak kandung, baik dari segi kewarisan dan nasab maupun dari segi perkawinan, Islam sangat menganjurkan untuk berbuat baik (ihsan) kepada anak angkat. Berbuat ihsan yang diberikan Islam kepada orangtua angkat atau anak angkat sendiri tidak terbatas hanya dalam bentuk kasih sayang, tetapi juga bisa berbentuk materiil.
Apabila ayah angkat, misalnya, meninggal dunia, secara hukum anak angkat tidak mendapatkan harta peninggalan ayah angkatnya tersebut, karena ia tidak termasuk ahli waris. Akan tetapi, demi ihsan tersebut, pihak ahli waris dapat merelakan hati untuk memberi bagian dari harta peninggalan harta ayah angkatnya tersebut sebagai rasa kemanusiaan, bukan atas dasar ahli waris.
Pilihan lain adalah orangtua angkat boleh meninggalkan wasiat atau hibah dalam jumlah harta tertentu (tidak boleh lebih dari sepertiga harta) bagi anak angkatnya apabila orangtua angkat ini meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, anak angkat yang mempunyai harta juga dapat berbuat ihsan kepada orangtua angkatnya, baik semasa hidup maupun setelah wafat melalui wasiat atau hibah, bukan atas dasar ahli waris. Menurut Hasanain
Muhammad Makhluf, ahli fikih Mesir, hal seperti ini perlu diperhatikan dan dilaksanakan para orangtua angkat atau para anak angkat agar konflik antara anak angkat dan ahli waris orangtua angkat atau antara ahli waris anak angkat dan orangtua angkatnya dapat dihindari. Hal ini terutama perlu bagi mereka yang hidup di wilayah hukum adat yang membolehkan anak angkat dan orangtua angkat saling mewarisi, sehingga baik orangtua angkat maupun anak angkat dapat menuntut pembagian warisan melalui hukum adat.
Oleh sebab itu, menurut Wahbah az‑Zuhaili, mengadopsi anak merupakan perbuatan terpuji dalam Islam, apalagi anak yang diadopsi itu adalah anak kecil yang tidak diketahui sama sekali orangtuanya. Perbuatan mengadopsi itu terpuji karena mengasuh, memelihara, dan mendidik anak kecil yang tidak punya orangtua ini seperti memelihara dan mendidik anak sendiri, merupakan perwujudan rasa tanggungjawab antara sesama muslim yang sangat dianjurkan Islam. Hal inilah, menurut Wahbah az‑Zuhaili, yang dimaksudkan Allah SWT dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 32 yang berarti:
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah‑olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya….”
Adapun mengadopsi anak dengan memberinya status hukum sebagai anak kandung, sebagaimana yang berlaku pada masyarakat non‑Islam, menurut Wahbah az‑Zuhaili dan Mahmud Syaltut, tidak dapat dibenarkan Islam, seperti ditegaskan Allah SWT melalui firman‑Nya (QS.33:4–5).
Daftar Pustaka
Basyir, Ahmad Azhar. Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam. Bandung: al-Ma‘arif, 1972.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1981.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba‘ah. Libanon: Dar al-Fikr, 1972.
al-Kahlani, Subul as-Salam. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960.
Makhluf, Hasanain Muhammad. al-Mawaris fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1954.
Syaltut, Mahmud. al-Fatawa. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami fi Uslubih al‑Jadid. Damascus: Dar al‑Fikr, 1980.
Zuhdi, Masjfuk. al‑Masa’il al‑Fiqhiyyah. Jakarta: Yayasan Wali Songo, 1989.
Nasrun Haroen