Adat Basandi Syara’

Rumusan sintesis antara adat dan agama di Minangkabau yang menjadi dasar bagi “watak Minangkabau” disebut adat basandi syara’. Secara lengkap, rumusannya berbunyi: “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”, yang berarti “adat bersendi syariat (ajaran agama) dan syariat bersendi-kan kitab Allah SWT (Al-Qur’an)”.

Ranah Minangkabau, yang terletak di pantai barat Sumatera, merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mengalami proses islamisasi sangat dalam, tetapi juga terkenal karena sangat terikat kuat pada adat, yang umumnya dianggap bertentangan dengan hukum Islam. Menurut HAMKA, ketika memasuki Sumatera Barat, agama Islam mendapati suatu negeri yang sudah teratur karena kuatnya adat yang dianut.

Adat biasanya didefinisikan sebagai kebiasaan setempat yang mengatur interaksi sesama anggota masyarakat. Akan tetapi, adat juga berarti keseluruhan sistem struktural masyarakat. Adat adalah sistem nilai, dasar penilaian etis dan hukum, dan juga sumber harapan sosial. Adat kemudian mewujudkan pola perilaku ideal.

Ketika agama Islam masuk ke Minangkabau, banyak aturan adat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pertentangan itu terutama terjadi karena adat menganut sistem matrilineal, sedangkan ajaran Islam lebih cenderung kepada sistem patrilineal. Selain itu, adat Minangkabau juga telah tumbuh dan berkembang sebelumnya di bawah pengaruh kepercayaan animisme, dinamisme, Hindu, dan Buddha. Akan tetapi, sistem adat itu, meskipun dipegang secara ketat, tetap memberi peluang kepada perubahan.

Oleh karena itu, HAMKA dalam tulisannya “Adat dan Islam” di majalah Panji Masyarakat, menyebutkan bahwa adat dan agama Islam ketika pertama kali datang tidak serta-merta saling tolak-menolak. Islam diterima karena dipandang dapat memperkaya khazanah adat dan sebaliknya, adat tidak pula ditolak untuk kemudian dilenyapkan oleh Islam. Islam ternyata kemudian memperkokoh adat, tentu dengan menambahkan unsur baru.

Pada tahap pertama dakwah ke Minangkabau, yang lebih berorientasi tasawuf, para dai berusaha menjadikan agama Islam bagian tradisi setempat. Usaha mereka berjalan mulus, karena sekalipun adat ditaati secara ketat, adat sendiri memperkenankan perubahan, seperti tersirat dalam salah satu pepatah Minang: “Barang yang sudah usang diperbarui, barang yang sudah lapuk diperkuat.” Keterbukaan itulah yang memperlancar usaha para dai untuk menjadikan agama sebagai bagian adat.

Usaha mereka itu diperlancar pula oleh kondisi politik Minangkabau yang sejak semula, tampaknya, tidak menge­ nal sistem pemerintahan­ terpusat. Kerajaan Pagaruyung­ di Minangkabau, menurut Taufik Abdullah (ahli sejarah), tidak pernah berfungsi sebagai lembaga pemerintahan.

Lembaga ini lebih merupakan kekuasaan keseimbangan yang sakral daripada lembaga pemerintahan. Fungsi pemerintahan dijalankan oleh “nagari”. Tidak ada aristokrasi maupun feodalisme. Kekuasaan pemerintahan sebenarnya terletak pada “keputusan mufakat”. Oleh karena itu, Islam berhasil mengadakan perubahan.

Menurut HAMKA, setelah Islam mengambil peranan dalam menyusun adat, pemerintahan adat terdiri dari “Tigo Selo”, yaitu Raja Adat berkedudukan di Buo, Raja Ibadat di Sumpur Kudus, dan Raja Alam di Pagaruyung. Raja Alam dalam memutuskan perkara adat harus bermusyawarah dengan dua raja lainnya.

Bahkan, mereka pun kemudian bermusyawarah dengan “Basa Ampek Balai” (Empat Orang Besar), yang mempunyai tugas masing-masing: Bendahara, yang berfungsi sebagai perdana menteri (di Sungai Tarab); Makhudum, yang bertugas sebagai penjaga kewibawaan istana dan memelihara hubungan dengan mancanegara (di Sumanik); Indomo, yang bertugas sebagai penjaga perjalanan adat (di Suruaso); dan Tuan Qadi, yang bertugas sebagai penjaga perjalanan syariat dan agama (di Padang Ganting). Raja Ibadat dan Tuan Qadi jelas dapat dianggap sebagai wakil agama Islam dalam pemerintahan adat.

Perubahan juga terjadi di tingkat nagari, misalnya penetapan rumusan baru bagi nagari. Nagari baru dapat disebut nagari kalau sudah memiliki jalan, sawah besar dengan perairan buatan, rumah gadang (rumah adat), lumbung padi, dan masjid.

Adanya masjid ini membuat pengaruh Islam semakin dalam karena melalui kegiatan pengajian, Al-Qur’an berhasil dijadikan bacaan harian masyarakat Minangkabau. Dengan demikian, masjid menjadi pusat penyebaran ajaran Islam. Tradisi adat pun dikembangkan dari dan oleh masjid, karena kaum adat tidak menghasilkan lembaga pendidikan untuk diri mereka.

Perubahan lainnya juga tampak dalam ajaran agama yang menjadi bagian penting dalam adat Minangkabau. Dalam tradisi Minangkabau, terdapat empat kategori adat: (1) adaik nan sabana adaik (adat yang sebenarnya adat), (2) adaik istiadaik (adat istiadat), (3) adaik nan taadaik (adat yang menjadi adat), dan (4) adaik nan diadaikkan (adat yang diadatkan).

Pada kategori pertama, adat dianggap abadi karena identik dengan hukum alam. Dalam “kodifikasi” aturan adat kemudian ditambahkan dimensi syariat. Doktrin Islam tidak dimaksudkan untuk menggantikan adat setempat, namun sejak semula ditempatkan dalam kategori adat tertinggi. Al-Qur’an dan hadis ditempatkan sebagai prinsip abadi dan yang seharusnya membimbing kegiatan sekuler (keduniaan) dan rohaniah manusia.

Dengan demikian, masuknya agama Islam tidaklah secara serius mengancam akar dasar masyarakat Minangkabau, bahkan menambah kekayaan kultural. Oleh karena itu, menurut Prof. Nasroen, S.H. (ahli hukum adat), konflik antara agama dan adat menjadi tidak ada. Tradisi lama Minangkabau didasarkan pada kearifan bahwa alam harus dijadikan guru, sedangkan di dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman bahwa melalui alam Ia mengungkapkan beberapa rahasia kepada mereka yang sanggup menafsirkan alam secara tepat (QS.88:17–20).

Namun demikian, ajaran agama baru menjadi undang-undang adat setelah melalui proses musyawarah. Hal ini tercermin dalam ungkapan tradisi Minangkabau: “Syara‘ na lazim, adaik nan qawi”, yang berarti “syariat baru berarti kalau dikuatkan dengan adat”.

Meski demikian, sampai menjelang masa modern, peng­ hayatan dan pengamalan terhadap Islam dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di kalangan pemangku adat, masih sangat dipengaruhi unsur nenek moyang. Para alim ulama, terutama dari kalangan tarekat yang memang dikenal sangat toleran terhadap kebiasaan setempat, tetap membiarkan hal itu terjadi.

Bahkan mereka sendiri diketahui sangat banyak melakukan amalan yang tergolong bid’ah dan khurafat dalam pandangan tokoh agama yang datang kemudian. Tingkah laku beragama mereka, menurut HAMKA, masih bercampur-aduk. Dengan demikian, proses islamisasi adat tidak berhenti sampai di situ. Pergumulan antara penduku-ng sistem nilai adat dan penganut sistem nilai agama terus berlangsung.

Pada abad ke-18 Ranah Minang mengalami disintegrasi sosial dalam bentuk demoralisasi dan kemunduran masyarakat. Aturan adat dan agama sering dilanggar. Masalah ini kemudian dipecahkan oleh apa yang kemudian dikenal dengan gerakan Paderi.

Gerakan ini, menurut Taufik Abdullah, bertujuan menghancurkan segala sesuatu yang dianggap adat Jahiliah, yang sinkretis dan terbelakang, yaitu adat yang bertentangan dengan ajaran agama, untuk mewujudkan masyarakat Islam. Dampak yang paling berarti dari gerakan itu adalah asimilasi yang terjadi antara doktrin agama ke dalam adat sebagai pola perilaku ideal. Adat “direkodifikasi” dan posisi agama sebagai sistem keyakinan diperkuat. Dalam kehidupan sehari-hari, peraturan adat haruslah merupakan manifestasi perencanaan agama: agamo mangato, adaik mamakai (agama menyatakan, adat menerapkan).

Namun, karena banyak ajaran agama yang masih memerlukan penafsiran, terutama dalam kaitannya dengan penerapan ajaran Islam dalam konteks sosial dan budaya, penafsiran ajaran dan institusionalisasi hukum Islam kembali terkait dengan adat setempat. Persoalan itu kemudian dipecahkan dengan membentuk pernyataan budaya adaik basandi syara‘ (adat bersendi syariat). Dalam pernyataan ini, adaik nan sabana adaik dan ajaran Islam menjadi sejajar dan tidak dapat dibedakan lagi.

Salah satu penyesuaian antara adat dan agama yang muncul sebagai hasil dari gerakan Paderi adalah mengenai sistem hukum waris. Dalam adat Minangkabau, harta pusaka turun kepada kemenakan, yaitu anak dari saudara perempuan; dan ini bertentangan dengan ajaran agama.

Gerakan itu kemudian berhasil merumuskan suatu jalan keluar, yaitu dengan membagi harta pusaka menjadi dua bagian, yaitu harta nenek moyang (harta pusaka tinggi) dan harta pencarian (harta pusaka rendah). Pusaka tinggi biasanya terdiri dari harta tak bergerak, seperti tanah dan rumah. Harta ini tidak bisa diwarisi orang di luar keluarga keturunan ibu. Harta ini tidak dapat dijual atau digadaikan, kecuali dalam keadaan darurat dan itu pun baru bisa dilakukan setelah melalui musyawarah antara seluruh anggota keluarga yang telah dewasa dan setelah berkonsultasi dengan penghulu.

Posisi pria berkenaan dengan harta ini lebih banyak merupakan pengelola daripada pemilik. Ia berhak menggunakan, tetapi tidak berhak menjual dan mewariskannya kepada anak-anaknya sendiri. Karena bukan pemilikan, golongan Paderi dapat menerima pewarisan bentuk harta ini kepada kemenakan atau kepada keturunan ibu.

Untuk pembagian harta pusaka rendah, golongan Paderi berhasil menerapkan hukum Islam. Memang, masalah yang sebenarnya sepanjang menyangkut warisan adalah berkenaan dengan harta pencarian ini. Menurut adat, apabila ayah tidak menghibahkannya kepada anak-anaknya, keluarga ibunyalah yang mempunyai hak waris atas pusaka rendah itu.

Agar anak mendapat bagian dari harta itu, ayah harus menghibahkannya kepada anak-anaknya. Karena hanya dengan cara itulah anaknya dapat mewarisi harta pencarian ayahnya. Menurut hukum Islam, prioritas pertama dalam pembagian harta pusaka haruslah diberikan kepada anak kandung, sehingga tidak perlu penghibahan. Menurut hukum Islam, mewarisi harta tanpa persesuaian dengan ketentuan agama adalah haram (QS.4:11).

Upaya yang dilakukan gerakan Paderi tidak sepenuhnya berjalan lancar, terutama ketika kepemimpinan politik berada di tangan golongan adat, yang didukung oleh kekuatan kolonial Hindia Belanda. Hal itu berakibat pada menguatnya kembali apa yang menurut golongan agama sebagai adat Jahiliah di Minangkabau.

Gagasan Paderi kemudian dilanjutkan oleh golongan pembaruan lain pada awal abad ke-20, yang dikenal dengan sebutan Kaum Muda. Golongan Kaum Muda ini juga mempersoalkan sistem hukum waris matrilineal Minangkabau. Di samping itu, mereka juga bergerak dalam bidang politik, yang kemudian berhasil mengubah pola kepemimpinan tradisional menjadi dominasi kota.

Persoalan pembagian harta warisan ini, menurut Taufik Abdullah, kemudian sebagian telah terpecahkan berkat kecenderungan individualisasi gejala kekotaan yang dibawa Kaum Muda. Pemecahan itu menghasilkan ketetapan bahwa penjualan atau pelepasan harta pencarian sama sekali tergantung pada kehendak pemilik dan bahwa meskipun tanpa surat wasiat penghibahan, anak-anak saudara perempuan dari yang meninggal atau orang lain dari anggota keluarga ibunya tidak berhak atas harta itu. Perubahan juga diupayakan dalam tata cara perkawinan adat Minangkabau yang juga berdasarkan sistem matrilineal.

Di antara ulama dari golongan Kaum Muda yang menentang adat Jahiliah Minangkabau adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Haji Abdullah Ahmad, Haji Abdul Karim Amrullah, Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Ibrahim Musa, Haji Oemar Bakry, HAMKA, dan Zainal Abidin Ahmad. Beberapa di antaranya adalah wanita, yaitu Hajizah, Siti Beram, dan Rahmah el-Yunusiyyah.

Sebagai upaya lain untuk menghilangkan adat Jahiliah dalam adat Minangkabau, para ulama tersebut banyak menulis, antara lain yang berbentuk buku adalah karya Syekh Ahmad Khatib yang berjudul an-Nahj al-Masyru‘ li Tarjamati ad-Da‘i al-Masmu‘ (Sistem yang Ditetapkan [Syariat] dalam Menerjemahkan Dai yang Didengar); Haji Abdul Karim Amrullah, Pertimbangan Adat Lembaga Orang Alam Minangkabau dan Sendi Aman Tiang Selamat; Zainuddin Abdullah, Menempoeh Kehidoepan Baroe (Oeraian tentang Pernikahan Menoeroet Adjaran Islam); dan HAMKA, Adat Minangkabau dan Agama Islam dan Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi.

Tulisan dalam bentuk artikel jauh lebih banyak di beberapa media massa yang terbit pada masa itu, seperti Warta Hindia, Oetoesan Melajoe, Nurul Yaqin, Perdamaian, Suara Muslimin, Penerangan Islam, dan Soeloeh.

Gencarnya gerakan Kaum Muda dan generasi sesudahnya dalam menentang adat yang bertentangan dengan agama membuat adat, lamban tetapi pasti, menyesuaikan diri dengan ajaran Islam. Hasil lain dari gerakan ini adalah kecenderungan banyaknya ulama menerima pangkat dan gelar adat, antara lain HAMKA yang menerima pangkat adat dengan gelar “Datuk Indomo” dan Mansoer Daoed yang bergelar “Datuk Palimokayo” (Mansoer Daoed Datuk Palimokayo). Pemberian jabatan adat kepada ulama ini semakin menempatkan Islam pada posisi dominan dalam sistem adat.

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik. “Adat dan Islam: Suatu Tinjauan tentang Konflik di Minangkabau,” Sejarah dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Daya, Burhanuddin. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990.
HAMKA. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Umminda, 1982.
Hazairin. Pergolakan Penyesuaian Hukum Islam dengan Adat. Jakarta: t.p., 1956.
Manggis, Rasyid. Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya. Padang: Sri Darma, 1971.
Mansur, M.D., et al. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara, 1970.

Badri Yatim