Abu Abbas As-Saffah

(Humaymah, 104 H/723 M – Hasyimiyah, Zulhijah 136/Juni 754)

Khalifah pertama Dinasti Abbasiyah adalah Abu Abbas as-Saffah. Nama lengkapnya Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Kata as-saffah, (bloodshedder: yang haus darah) adalah gelar yang diberikan belakangan oleh penulis sejarah sehubungan dengan kebijakannya selaku khalifah pertama Abbasiyah terhadap lawan-lawan politiknya.

Sebagai khalifah pertama setelah jatuhnya Dinasti Bani Umayah, ia segera mengonsolidasikan pemerintahannya dan menetapkan orientasinya. Untuk itu, ia tak segan-segan menempuh jalan kekerasan, sekalipun dalam banyak hal juga menunjukkan budi baik dan kedermawanan.

Gelar as-Saffah itu lebih digunakan dalam konteks sikap kerasnya terhadap lawan politiknya. Sikap hidupnya yang sederhana dan kecenderungannya kepada ilmu pengetahuan juga tercatat dalam sejarah. Budi baiknya tampak ketika ia memberikan amnesti terhadap keluarga Umayah, rezim yang digulingkannya, hingga mereka bebas bergerak di mana saja.

Akan tetapi, orang sekitarnya senantiasa mengembuskan bahaya laten keluarga Umayah. Ia terpengaruh dan kemudian menangkap lalu menghukum mati Sulaiman, putra Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Selanjutnya, pengejaran terhadap sisa keluarga Umayah pun berlangsung.

Abdullah bin Ali, pamannya dan juga gubernur wilayah Su­riah dan Palestina, membantai secara massal dan sadis sisa keluarga elite Umayah, dengan cara “memancing” korban tersebut dengan undangan untuk menghadiri suatu pesta di sebuah istana megah peninggalan Kekaisaran Romawi di Damascus.

Abdullah bin Ali juga mematahkan dan menghancurkan pemberontakan di kota benteng Hauran dan Tsania yang dipimpin Habib bin Murra al-Meruwi. Akhirnya ia diberi ampunan umum karena memohon damai. Pemberontak yang dipimpin Abu Wirdi Majzat bin al-Kausar di kota benteng Qinissirin, Homs, dan Tadmur, dapat dikalahkan setelah pemimpin pemberontak tersebut terbunuh. Kemudian ampunan umum pun diberikan.

Ia mengirim saudaranya, Abu Ja‘far, yang kelak menggantikannya sebagai khalifah, untuk memadamkan pemberontakan di wilayah al-Jazirah, wilayah belahan utara Irak, di bawah pimpinan panglima Ishaq bin Muslim al-Ukaili. Pemberontakan ini pun diakhiri dengan pemberian ampunan umum.

Ia juga mengirimkan panglima Khazim bin Khuzaimah untuk menumpas pemberontakan di Madain. Khazim bin Khuzaimah berhasil menewaskan panglima Bissam bin Ibrahim, pemimpin kaum pemberontak tersebut. Khazim bin Khuzaimah pulalah yang memimpin pasukan yang menewaskan Syaiban bin Abdul Aziz, pemimpin pemberontakan aliran Khawarij di wilayah Irak, dan memorak porandakan pasukan pemberontak.

Atas perintahnya, Yazid bin Amir bin Hu bairat, mantan gubernur Umayah di wilayah Irak yang tetap bertahan di kota benteng Wasit, ditangkap dan dibunuh di depan mata keluarganya, sebelum seluruh keluarga Yazid dibunuh.

Terhadap kelompok Syiah–yang sebelumnya bahumembahu dengan kekuatan Abbasiyah dalam menjatuhkan Dinasti Umayah– ia tidak segan-segan bertindak tegas dan keras, bahkan membunuh para pemimpinnya serta menyiksa secara kejam para pengikutnya. Ia juga menahan dan menangkis usaha penguasaan kembali kawasan Asia Kecil yang dilakukan Constantinus V (741–775), penguasa Kekaisaran Bizantium, yang memanfaatkan peluang di tengah keru­suhan yang ditimbulkan kaum pemberontak tersebut di atas.

Perhatiannya kepada kebudayaan, khususnya di bidang pemerintahan, sudah tampak sejak perubahan yang dilakukannya terhadap lambang, bendera, dan panji kerajaan, dari warna merah yang sebelumnya dipakai pada masa Dinasti Umayah, menjadi warna hitam. Warna itu juga berlaku bagi pakaian kebesaran khalifah.

Karena merasa tidak aman di Kufah, kota yang pro Syiah, ia mendirikan ibukota baru di pinggir Sungai Eufrat dan menamainya Hasyimiyah. Kota ini merupakan karya kultural yang memiliki arti strategis bagi sebuah rezim baru yang sedang tumbuh.

Masa pemerintahannya selama 4 tahun telah­ membukti­ kan kemampuannya untuk secara berangsur-angsur memulihkan keamanan dalam wilayah Islam yang ketika itu membentang dari perbatasan Thian Shan di sebelah timur sampai Pegunungan Pyrenia di sebelah barat. Sebelum meninggal di kota yang dibangunnya dalam usia lebih dari 30 tahun, ia masih sempat menitipkan wasiat agar saudaranya sendiri, yakni Abu Ja‘far al-Mansur, menggantikannya kelak.

Daftar Pustaka

Bek, Muhammad Khudari. Muhadarat Tarikh al-Umam al-Islamiyyah: ad-Daulah al-‘Abbasiyyah. Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.

Departemen Agama RI. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: DEPAG RI, 1981/1982.

von Grunebaum, Gustave E. Classical Islam: A History 600–1258. London: George Allen and Unwin Ltd., 1970.

Hodgson, Mashall G.S. The Ventures of Islam. Chicago: University of Chicago Press, 1973.

Kennedy, Hugh. The Early Abbasid Caliphate: A Political History. London, 1981.

—————. The Prophet and the Age of the Caliphates: the Islamic Near East

from the Sixth to the Eleventh Century. London: Longman, 1986.

Syuaib, Yusuf. Sejarah Khilafat Abbasiah. Jakarta: Bulan Bintang. t.t.

Moch. Qasim Matha