Aborsi

Secara kebahasaan aborsi berarti “keguguran”, “menggugurkan kandungan”, atau “membuang janin”. Menurut istilah kedokteran aborsi berarti “pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi (kehamilan) 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram”. Dalam istilah hukum, aborsi berarti “penghentian kehamilan atau matinya janin sebelum­ waktu kelahiran”.

Ada dua macam aborsi, yaitu aborsi spontan dan aborsi provocatus (aborsi buatan). Aborsi spontan adalah pengguguran kandungan yang terjadi secara tidak sengaja atau tanpa usaha, atau beberapa sebab lainnya, seperti bapak atau ibu yang berpenyakit kelamin, sudah tua atau peminum. Aborsi spontan dapat juga disebabkan kondisi janin itu sendiri sehingga terjadi keguguran.

Adapun aborsi provocatus atau aborsi buatan adalah pengguguran yang dilakukan dengan sengaja. Ada dua macam aborsi provocatus, yaitu aborsi therapeutic provocatus dan aborsi criminal provocatus. Aborsi therapeutic provocatus adalah pengguguran kehamilan yang dilakukan secara sengaja karena ada indikasi medis yang mengharuskan tindakan pengguguran tersebut. Apabila tindakan itu tidak dilakukan, akan terjadi mudarat atau bahaya bagi si ibu yang mengandung.

Oleh karena itu, aborsi therapeutic provocatus juga disebut aborsi medicinal. Artinya, aborsi dilakukan karena alasan medis oleh tenaga ahli medis. Aborsi criminal provocatus ialah pengguguran yang terjadi secara sengaja, tetapi bukan atas indikasi atau pertimbangan medis dan biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh tenaga yang tidak terdidik. Jenis aborsi ini biasanya disebut juga aborsi ilegal.

Secara klinis, aborsi dibedakan atas aborsi imminence, aborsi incipient, aborsi incomplete, aborsi complete, dan aborsi habitual. Pada aborsi imminence, kehamilan masih dapat dipertahankan, misalnya dengan istirahat dan pemberian obat. Pada aborsi incipient, kehamilan tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga pengobatan hanya bertujuan menghentikan perdarahan dan membersihkan rongga rahim dari hasil konsepsi.

Pada aborsi incomplete, sebagian hasil konsepsi masih tertinggal dalam rahim, sehingga pengobatan bertujuan menghentikan perdarahan dan membersihkan rongga rahim dari sisa hasil konsepsi. Pada aborsi complete, seluruh hasil konsepsi dikeluarkan. Adapun yang dimaksud dengan aborsi habitual adalah aborsi spontan yang dialami tiga kali berturut-turut atau lebih.

Aborsi spontan tidak diancam hukuman, baik hukum pidana maupun hukum Islam karena terjadi tanpa disengaja dan di luar kemampuan yang bersangkutan untuk mencegahnya. Pelaku aborsi provocatus diancam hukuman, baik hukum pidana maupun hukum Islam. Hukum pidana dan hukum Islam memberikan kualifikasi dan pengecualian hukum terhadap aborsi provocatus menurut ringan dan beratnya atau jenis dan sifatnya.

Pendapat para fukaha (ahli hukum Islam) mengenai hukum aborsi sangat bergantung pada pandangan mereka mengenai kedudukan janin dalam kandungan. Perbedaan pendapat di antara mereka menyebabkan perbedaan dalam menetapkan hukum aborsi. Mereka sepakat bahwa pengguguran kandungan pada saat janin yang dipandang telah bernyawa adalah haram. Ayat Al-Qur’an yang biasa dirujuk sebagai dalil dalam hal ini adalah surah al-Isra’ (17) ayat 31 yang berarti:

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”

Dalam hal janin yang dipandang belum bernyawa, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum aborsi. Di antara mereka ada yang membolehkan dengan alasan bahwa pada saat itu belum ada kehidupan pada janin tersebut. Ulama lain menetapkan haram terhadap aborsi seperti itu, dengan alasan bahwa pada saat itu telah ada kehidupan yang sedang tumbuh atau da­lam proses pembentukan.

Bagi ulama yang melarang, kecuali untuk keselamatan si ibu, aborsi dengan cara apa pun dilarang oleh semangat dan jiwa ajaran Islam, baik pada saat janin sudah bernyawa maupun pada saat janin belum bernyawa. Mereka memandang perbuatan aborsi tersebut sebagai pembunuhan terselubung.

Para fukaha bersepakat bahwa sanksi hukum bagi pelaku aborsi yang dilarang dan tergolong sebagai perbuatan­ jinayah itu atau bagi orang yang menyebabkan terjadinya aborsi tersebut adalah diat, yakni membebaskan hamba atau budak (hurrah), baik laki-laki maupun perempuan.

Apabila suatu tindak penganiayaan terhadap seorang ibu hamil mengakibatkan aborsi dan janin yang keluar dari kandungan tersebut dalam keadaan hidup kemudian meninggal, maka sanksinya adalah –di samping diat– membayar kafarat karena tindakan tersebut diidentikkan dengan pembunuhan tanpa sengaja. Mengenai sanksi kafarat ini sedikitnya terdapat tiga pendapat di kalangan ulama. Menurut pendapat ulama Mazhab Syafi‘i, kafarat tetap dikenakan bagi si pelaku, baik tindakannya itu disengaja atau tidak. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa si pelaku tidak dikenakan kafarat karena tindakan tersebut tidak disengaja.

Adapun menurut ulama Mazhab Maliki, kafarat sebenarnya hanya merupakan hukuman tambahan karena ada kemiripan antara tindakan yang disengaja dan tidak disengaja.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menetapkan sanksi terhadap pelaku aborsi terjadi karena Al-Qur’an tidak menjelaskan kapan janin tersebut dapat dikatakan telah bernyawa atau belum. Hal itu dijelaskan dalam hadis, misalnya dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dari Abi Abdurrahman bin Mas‘ud:

“Bahwa Rasulullah SAW menjelaskan kepada kami –sedang beliau adalah benar dan dipercaya– bahwa sesungguhnya setiap kamu dikumpulkan kejadiannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari sebagai nutfah, kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah yang melekat) dengan waktu yang sama, kemudian menjadi mudigah dengan waktu yang sama, kemudian Allah SWT mengirim seorang malaikat, maka dia meniupkan roh kepadanya.”

Di samping itu, penggunaan kata “hidup” dalam beberapa ayat Al-Qur’an berbeda dari penggunaannya dalam ilmu pengetahuan pada umumnya. Umpamanya, surah Ali ‘Imran (3) ayat 169 menyebutkan bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah SWT masih hidup, sedangkan menurut pengetahuan biasa disebut mati. Dengan demikian, persoalan aborsi dan hukumnya di kalangan para pemikir Islam berkembang sesuai dengan pemahaman mereka terhadap sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an serta hadis dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Daftar Pustaka

Abu Hanifah. Ibu dan Anak, Penjagaan dan Pemeliharaan. Bandung: Sumur Bandung, 1961.
Bones, Jennifer M. & Alan Hayes, ed. Children, Families, and Communities: Contexts and Consequences. Oxford: Oxford University Press, 1999.
Rosjadi, A. Rahmat dan Soeroso Dasar. Keluarga Berencana Ditinjau dari Hukum Islam. Bandung: Pustaka, 1986.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Syaltut, Mahmud. al-Fatawa. Cairo: Dar asy-Syuruq, t.t.
Utomo, Budi, dkk. Abortus di Indonesia: Suatu Telaah Pustaka. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, 1985.

Moch. Qasim Mathar