Tokoh yang akrab dipanggil “Gus Dur” ini adalah presiden ke-4 RI (1999–2001). Ia adalah putra mantan menteri Agama RI, A. Wahid Hasyim. Gus Dur pernah terpilih menjadi ketua umum Tanfidziah PBNU (1994-1999). Ia berhasil mengembangkan toleransi beragama serta alam demokrasi di Indonesia. Atas jasa ini, ia dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay (1993).
Kakek Gus Dur dari pihak ayah, yaitu KH Hasyim Asy’ari, adalah pengasuh Pondok Tebuireng, Jombang, dan pernah memangku jabatan rais akbar PBNU. Kakek dari pihak ibunya, KH Bisri Syamsuri, juga pengasuh pondok pesantren di Denanyar, Jombang, dan pernah memangku jabatan rais am PBNU. Kedua kiai ini adalah tokoh dan cikal bakal pendiri NU di samping KH A. Wahab Hasbullah yang pernah juga memangku jabatan rais am PBNU setelah Kiai Hasyim Asy’ari dan ternyata masih dalam satu mata rantai silsilah para ulama di Jawa.
Nama “Gus Dur” diambil dari tradisi di daerahnya, di mana penduduk setempat menyebut seorang putra dari keluarga elit dengan sebutan “Gus”. Setamat Sekolah Dasar di Jakarta pada 1953 dan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta pada 1956, di samping belajar mengaji kepada KH Ali Maksum di Krapyak, Yogyakarta, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikan ke Pesantren Tegalrejo, Magelang, kemudian pindah ke Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang (1959–1963).
Sesudah itu ia memperdalam ilmu Islam dan sastra Arab di Universitas al-Azhar, Cairo (Mesir), kemudian pindah ke Fakultas Sastra Universitas Baghdad, tetapi ia tidak tamat dari kedua universitas ini.
Abdurrahman banyak berkarier di pesantren. Ia pernah menjadi guru mu‘allimat Pesantren Tambakberas, Jombang (1959–1963), sekretaris Pesantren Tebuireng, Jombang (1974–1979), di samping menjadi dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang, dan pengasuh Pesantren Ciganjur, Jakarta.
Baru pada 1984 ia terlibat langsung dalam kepengurusan NU setelah dipilih sebagai ketua Tanfidziah PBNU dalam muktamar ke-27 di Pesantren Sukorejo, Situbondo, meskipun sebelumnya ia sudah duduk sebagai katib syuriyah PBNU setelah muktamar ke-26 tahun 1979 di Semarang. Dalam muktamar ke-28 di Pesantren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, ia dipilih secara aklamasi oleh muktamirin (peserta muktamar) sebagai ketua umum Tanfidziah PBNU (1989–1994).
Naiknya Gus Dur ke puncak pimpinan NU tidak terlepas dari dukungan warga NU dan hasil kerja sebuah tim yang terbentuk sejak sebelum muktamar ke-26 di Semarang (1979). Tim itu semula bernama “kelompok warung” (warung pemikir) yang dimotori antara lain oleh Gus Dur sendiri. Kelompok ini pada intinya bertujuan melakukan terobosan baru agar NU, setelah peranan politik praktisnya hilang, masih dapat mengembangkan sayapnya seperti pada awal berdirinya (kemudian dikenal sebagai Khittah Nahdliyyah 1926).
Kelompok ini kemudian membengkak dan menjelma menjadi “Kelompok G”. Nama ini diambil dari nama sebuah gang di kawasan Mampang, Jakarta, tempat berkumpul kelompok ini. Menjelang muktamar ke-28 di Yogyakarta, para anggota kelompok sempat bersilang pendapat dan kemudian bubar
Gus Dur sebagai Bapak Bangsa dikenal sering melontarkan pendapat kontroversial. Bahkan ketika menjabat Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999–24 Juli 2001), ia tak gentar menggungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan menerimanya bahkan menentangnya. Gus Dur, pendiri PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) ini, terus ‘Maju Tak Gentar Membela yang Benar’. Pada akhirnya ia harus lengser dari kursi kepresidenan pada 24 Juli 2001 melalui Sidang Istimewa MPR.
Ia juga gemar humor dan menentang arus. Pergaulan, minat, dan pandangannya cukup luas. Hal itu terbukti dari berbagai jabatan yang pernah dipangkunya di berbagai tempat, antara lain ketua DPH Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki (1983–1985) dan ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986 dan 1987.
Ia pernah menjadi anggota tim penasihat Departemen Agama, Departemen Koperasi, dan Departemen Hankam. Pernah juga ia menjadi penasihat ahli Keluarga Berencana di BKKBN. Ia aktif dalam pelbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di forum nasional maupun internasional.
Gus Dur sebagai cendekiawan independen menolak bergabung dengan ICMI. Bukan hanya menolak, ia bahkan menuduh organisasi kaum “elite Islam” tersebut sebagai organisasi sektarian. Ketika hampir semua cendekiawan muslim bergabung dengan organisasi itu, ia justru mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) dan sekaligus menjadi ketua untuk masa bakti 1991–1999.
Forum yang didirikan pada 1991 ini merupakan koalisi antaragama. Dengan mendirikan forum ini, ia bermaksud meluruskan kecenderungan pemikiran eksklusivisme di kalangan Islam.
Ratusan artikel telah ditulisnya di berbagai media massa di Indonesia dan di luar negeri. Ia juga membuat karya terjemahan, antara lain terjemahan karya Sayid Husein an-Nasr (pemikir Islam Syiah, Iran; l. 1933). Beberapa karyanya ialah: Bunga Rampai Pesantren (1979), Muslim di Tengah Pergumulan (1981), “Islam, the State and Development in Indonesia” (Islam, Negara dan Pembangunan di Indonesia) sebagai bagian dari kumpulan karangan dalam judul Ethical Dilemmas of Development in Asia (Dilema Etis Pembangunan di Asia), Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (1997), Tuhan Tidak Perlu Dibela (1999), Gus Dur Menjawab Perubahan Jaman (1999), dan Melawan Melalui Lelucon (2002).
Tokoh yang terpilih sebagai “Tokoh 1990” oleh majalah Editor ini memprakarsai pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma sebagai bagian kerjasama NU dengan Bank Summa pada 1990. Langkah ini dianggap sebagai “loncatan budaya” bagi warga NU dalam melakukan alih sosial ekonomi, karena warga NU umumnya belum akrab dengan dunia perbankan, sebuah sendi penting dalam sistem ekonomi modern.
Berderet sudah penghargaan didapatkannya. Ia antara lain memperoleh Ramon Magsaysay Award, yang dijuluki “Nobel Asia” (1993); gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru (2000); dan Doctor Honoris Causa dari Universitas Thammasat Thaprachan, Bangkok, Thailand (2000) dan Universitas Sokka, Jepang (2002).
Sebagai santri yang menyukai lagu Ummi Kalsum (penyanyi Mesir; 1904– 1975) serta musik pop dan klasik, Gus Dur kemudian tumbuh menjadi pemikir. Ia pun sering berbicara pada pelbagai pertemuan ilmiah seperti lokakarya, simposium, diskusi panel, dan seminar di tingkat nasional dan internasional.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik dan Sharon Shiddique, ed. Islam and Society in Southeast Asia. Singapore: ISEAS, 1989.
Atjeh, Abu Bakar. Sejarah Hidup KH A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar. Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. KH A. Wahid Hasjim, 1957.
Barton, Greg. Biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid). Yogyakarta: LKiS, 2003.
––––––– dan Greg Fealy, eds. Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara. Yogyakarta: LKiS, 1997.
Hamzah, Imron, Choirul Anam, ed. Sebuah Dialog Mencari Kejelasan “Gus Dur Diadili Kiai-Kiai”. Surabaya: Jawa Pos, 1989.
Ida, Laode. Anatomi Konflik: NU, Elit Islam, dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan, 1996.
Ma’shum, Saifullah. Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU. Bandung: Mizan bekerjasama Yayasan Saifuddin Zuhri, 1998.
Qomar, Mujamil. NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunah ke Universalisme
Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Wahid, Abdurrahman. Bunga Rampai Pesantren. Jakarta: Dharma Bhakti, t.t.
Yusuf, Slamet Effendy, et al. Dinamika Kaum Santri. Jakarta: CV Rajawali, 1983.
Asnawi Latief