Ulama besar dan tokoh tasawuf dari Aceh yang pertama kali mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia adalah Abdur Rauf Singkel. Ia disebut juga Abdur Rauf as-Singkili. Nama aslinya adalah Abdur Rauf al-Fansuri. Ia menulis berbagai bidang ilmu: tafsir, hadis, fikih, dan tasawuf. Kitab tafsirnya merupakan yang pertama di Indonesia dalam bahasa Melayu.
Sekitar tahun 1064 H/1643 M, ketika Kesultanan Aceh berada dalam pemerintahan Sultanah (Ratu) Safiatuddin Tajul Alam (1641–1675), Abdur Rauf berangkat ke tanah Arab dengan tujuan mempelajari agama. Ia mengunjungi pusat pendidikan dan pengajaran agama di sepanjang jalur perjalanan haji antara Yaman dan Mekah.
Ia kemudian bermukim di Mekah dan Madinah untuk menambah pengetahuan tentang ilmu Al-Qur’an, hadis, fikih, dan tafsir, serta mempelajari tasawuf. Ia mempelajari Tarekat Syattariyah pada Ahmad Qusasi (1583–1661), syekh tarekat tersebut, dan Ibrahim al-Qur’ani, pengganti Qusasi. Ia memperoleh ijazah hingga memiliki hak untuk mengajarkan tarekat tersebut kepada orang lain.
Ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan segera mengajarkan serta mengembangkan tarekat ini. Tarekat yang diajarkannya bertujuan membangkitkan kesadaran akan Allah SWT dalam batin manusia. Hal ini dicapai melalui pengamalan beberapa macam zikir.
Murid yang berguru kepada Abdur Rauf amat banyak dan berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Saat itu Aceh merupakan tempat persinggahan para jemaah haji. Ketika di Aceh, tidak sedikit jemaah haji yang kemudian belajar agama dan tasawuf. Di antara muridnya banyak yang kemudian menjadi ulama terkenal, seperti Syekh *Burhanuddin dari Ulakan (Pariaman, Sumatera Barat). Ia juga banyak berkunjung ke berbagai daerah di Sumatera dan Jawa.
Syekh Abdur Rauf menjadi mufti Kerajaan Aceh yang ketika itu masih diperintah oleh Sultanah Safiatuddin Tajul Alam. Dengan dukungan kerajaan ia berhasil menghapus ajaran Salik Buta, tarekat yang sudah ada sebelumnya dalam masyarakat Aceh. Para salik (pengikut tarekat) yang tidak mau bertobat dibunuh.
Abdur Rauf memiliki sekitar 21 karya tulis, yang terdiri dari kitab tafsir, kitab hadis, kitab fikih, dan sisanya kitab tasawuf. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) merupakan kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.
Salah satu kitab fikih Abdur Rauf berjudul Mir’at at-Tullab fi Tahsil Ma‘rifah Ahkam asy-Syar‘iyyah li al-Malik al-Wahhab (Cermin bagi Penuntut Ilmu Fikih pada Memudahkan Mengenal segala Hukum Syarak Allah). Di dalamnya dimuat berbagai masalah fikih Mazhab Syafi‘i yang merupakan panduan bagi seorang kadi. Kitab ini ditulis atas perintah Sultanah.
Karyanya di bidang tasawuf antara lain adalah ‘Umdat al-Muhtajin (Tiang Orang yang Memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (Pencukup para Pengemban Hajat), Daqaiq al-Huruf (Detail Huruf), dan Bayan Tajalli (Keterangan tentang Tajali). ‘Umdat al-Muhtajin atau lengkapnya ‘Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin merupakan karya Abdur Rauf yang terpenting.
Buku ini terdiri atas tujuh bab, memuat antara lain mengenai zikir, sifat Allah SWT dan rasul-Nya, dan asal-usul ajaran mistik. Di akhir bukunya Abdur Rauf menceritakan riwayat hidupnya dan gurunya. Di antara gurunya itu ia sangat memuji Ahmad Qusasi. Ia menyebut gurunya ini “pembimbing spiritual dan guru di jalan Allah”.
Abdur Rauf Singkel menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam ciptaan-Nya adalah wujud bayangan, yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dengan wujud bayangan (alam), terdapat keserupaan antara kedua wujud ini. Tuhan melakukan tajali (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif paling sempurna pada insan kamil.
Terkait dengan pemikirannya mengenai wujud Allah SWT, dalam beberapa tulisannya mengenai tasawuf, terlihat bahwa Abdur Rauf tidak setuju dengan tindakan pengafiran yang dilakukan oleh Nuruddin ar-Raniri terhadap para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani yang berpaham wahdatul wujud atau wujudiyyah. Menurutnya, jika tuduhan pengafiran itu tidak benar, maka orang yang menuduh dapat disebut kafir.
Pandangannya terhadap paham wahdatul wujud dinyatakan dalam buku Bayan Tajalli. Buku ini juga merupakan usahanya dalam merumuskan keyakinan terhadap ajaran Islam. Ia mengatakan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba terhadap Allah SWT, Khalik dan makhluk tetap memiliki arti sendiri.
Karena mengajar dan kemudian dimakamkan di kuala (muara) Kr. Aceh atau Banda Aceh, Syekh Abdur Rauf Singkel kemudian juga terkenal dengan nama Teungku Syiah Kuala. Nama ini diabadikan pada perguruan tinggi yang didirikan di Banda Aceh pada tahun 1961, yakni Universitas Syiah Kuala. Ia juga sering disebut Wali Tanah Aceh. Makamnya dianggap tempat suci dan ramai dikunjungi para peziarah.
Daftar Pustaka