Kakek Nabi SAW dari pihak ayah adalah Abdul Muthalib, pemuka Quraisy yang dihormati. Ia dipercaya untuk memegang kunci Ka’bah. Nama lengkapnya Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab. Ayahnya, Hasyim, mempunyai tiga saudara: al-Muthalib, Abdul Syams, dan Naufal. Ibunya bernama Salmah, seorang wanita terpandang dari Madinah.
Sebenarnya Abdul Muthalib lahir dengan nama Syaiba, tetapi karena sejak kecil dipelihara dan diasuh al-Muthalib, pamannya, ia lebih dikenal dengan nama Abdul Muthalib. Nama inilah yang kemudian dikenal orang.
Kakek Abdul Muthalib yang bernama Qusay telah menjadi penguasa Mekah sejak pertengahan abad ke-5 M. Atas perintah Qusay, orang Arab Quraisy membangun tempat tinggal di sekitar Ka’bah sehingga daerah di sekeliling Ka’bah menjadi ramai. Pada masa kepemimpinan Qusay, masyarakat Arab yang berdiam di sekitar Mekah mengalami zaman kemajuan.
Qusay membangun Dar an-Nadwah (Balai Musyawarah), mendirikan lembaga Rifadah (Lembaga Pajak) untuk mengumpulkan pajak serta mempergunakannya untuk membantu memberi makan fakir miskin yang berkunjung ke Mekah, menyimpan liwa’ (panji peperangan), mengurus siqayah (pengatur dan penjaga sumber air zamzam), dan memegang kunci pintu Ka’bah (hijabah).
Semua jabatan dan kedudukan yang dipegang Qusay ini kelak diwariskan kepada Abdul Muthalib. Di antara anak cucu keturunan Qusay, tampaknya Abdul Muthalib-lah yang pantas mewarisinya karena dalam dirinya terdapat sifat kepemimpinan, seperti bijaksana, tegas, dan adil.
Abdul Muthalib adalah pemimpin yang dapat diterima oleh kabilah Arab pada masanya. Selama masa kepemimpinannya ia telah melakukan hal berikut:
(1) menggali kembali sumber air zamzam dan membuat penampungan untuk air itu;
(2) menyelesaikan pertikaian antar-kabilah yang terjadi pada masanya; dan
(3) mendirikan lembaga syarif.
Lembaga syarif yaitu suatu badan pemerintahan yang terdiri atas sepuluh wakil rakyat yang mempunyai sepuluh tugas yang berbeda, yaitu tugas hijabah, siqayah, diyat (kekuasaan hakim perdata dan pidana), sifarah (duta atau kuasa usaha negara), liwa’ (pemegang panji peperangan, yakni panglima tentara), rifadah (pemungut pajak dan penyedia makanan), nadwa (ketua dewan nasional), kha’immah (pengurus balai musyawarah), khazinah (administrasi keuangan negara), dan azlam (peramal pendapat para dewa).
Abdul Muthalib dikaruniai dua belas anak laki-laki dan enam orang anak perempuan. Yang laki-laki berturut-turut adalah Haris, Abdul Uzza (Abu Lahab), Abi Thalib (Abdul Manaf), Zubair, Abdullah, Dirar, Abbas, Muqawwim, Jaham, dan Hamzah. Nama dua orang lainnya tidak dikenal dalam sejarah karena mereka tidak meninggalkan keturunan. Adapun anak perempuannya berturut-turut adalah Atiqah, Umaimah, Arwah, Barrah, Ummi Hakim, dan Shafiyah.
Tiga di antara putranya mempunyai peranan penting dalam syiar Islam: Abi Thalib merupakan tulang punggung dan perisai yang membentengi perjuangan Nabi SAW pada awal dakwah Islamiah, Abbas bin Abdul Muthalib merupakan tokoh Quraisy yang juga membantu perjuangan Nabi SAW, dan Hamzah bin Abdul Muthalib adalah panglima perang Islam yang gagah berani dan gugur sebagai syahid dalam Perang Uhud.
Abdul Muthalib pernah bernazar bahwa jika ia dikaruniai sepuluh anak laki-laki, salah seorang anaknya akan disembelih di samping Ka’bah sebagai kurban untuk para dewa. Demikianlah ketika anaknya berjumlah sepuluh orang dan ia bermaksud menunaikan nazarnya, ia melakukan undian untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan dikurbankan.
Dalam undian itu, keluar nama Abdullah, ayah Nabi SAW yang justru merupakan anak kesayangan yang dicintainya. Tetapi pemuka Quraisy serentak sepakat melarangnya dan menganjurkan agar diganti dengan tebusan memotong sepuluh ekor unta. Setelah Abdul Muthalib mendapat petunjuk dari pemuka agama di Yatsrib yang membenarkan penebusan nazarnya, Abdul Muthalib menyembelih seratus ekor unta dan terbebas dari kewajiban menyembelih putranya.
Peristiwa penting lainnya yang dialami Abdul Muthalib adalah ketika dia harus mempertahankan rumah suci Ka’bah dari gempuran tentara Abrahah, penguasa dari Yaman, yang bermaksud hendak meruntuhkan Ka’bah. Ketika berita mengenai rencana penyerangan Abrahah sampai ke telinga penduduk Mekah, para pemuka Quraisy pada waktu itu bermaksud melakukan perlawanan.
Akan tetapi, maksud itu ditentang Abdul Muthalib. Alasannya, Ka’bah adalah rumah Tuhan, dan Tuhanlah yang lebih berhak memelihara keselamatannya, bukan manusia. Karena itu, Abdul Muthalib mengimbau penduduk Mekah agar meninggalkan Mekah dan pergi ke lereng bukit menghindari Abrahah dan pasukannya yang akan memasuki kota itu dan akan menghancurkan Ka’bah.
Ternyata pendapat Abdul Muthalib benar karena Abrahah tidak mampu meruntuhkan Ka’bah, walaupun dia menggunakan pasukan gajah, karena Allah SWT terlebih dahulu menghancurkan mereka dengan mengutus burung ababil yang melempari mereka dengan batu kerikil yang sangat panas (Al-Qur’an surah al-Fal). Peristiwa ini disebut Tahun Gajah (‘am al-Fal) dan pada tahun itulah Muhammad dilahirkan.
Abdul Muthalib memelihara dan mengasuh Muhammad sejak ia ditinggal mati ibunya, Aminah binti Wahhab. Pada waktu itu Muhammad baru berusia 6 tahun. Muhammad berada dalam pemeliharaan dan pengasuhan kakeknya ini sampai kakeknya meninggal, yakni kira-kira selama 2 tahun.
Abdul Muthalib mencintai dan menyayangi Muhammad lebih daripada cucunya yang lain. Bahkan, ia lebih mencintai Muhammad daripada anaknya sendiri. Kecintaan Abdul Muthalib terhadap diri Muhammad telah diperlihatkan sejak kelahirannya. Ketika baru lahir, Abdul Muthalib langsung menggendong cucunya itu dan membawanya ke samping Ka’bah untuk dimohonkan doa selamat.
Pada waktu itu pula ia memberi nama Muhammad kepada cucunya itu (artinya: orang terpuji). Ketika ditanyakan kepada Abdul Muthalib mengapa memberi nama Muhammad kepada cucunya, sementara masyarakat pada waktu itu senang memberi nama anak mereka dengan nama nenek moyangnya, Abdul Muthalib menjawab, “Saya berharap kelak cucuku akan menjadi orang terpuji bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi.”
Sebelum berpulang ke rahmatullah, Abdul Muthalib berpesan kepada Abi Thalib, salah seorang putranya, agar bersedia dan berjanji mengasuh dan memelihara cucunya itu dengan sebaik-baiknya. Demikianlah, setelah Abdul Muthalib wafat, pemeliharaan Muhammad dilaksanakan oleh Abi Thalib.
Daftar Pustaka