Abdul Muthalib

(497–579)

Kakek Nabi­ SAW dari pihak ayah adalah Abdul Muthalib, pemuka­ Quraisy yang dihormati. Ia dipercaya untuk memegang kunci Ka’bah. Nama lengkapnya Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab. Ayahnya, Hasyim, mempunyai tiga saudara: al-Muthalib, Abdul Syams, dan Naufal. Ibunya­ bernama Salmah, seorang wanita terpandang dari Madinah.

Sebenarnya Abdul Muthalib lahir dengan nama­ Syaiba, tetapi karena sejak kecil dipelihara dan diasuh al-Muthalib, pamannya, ia lebih dikenal dengan nama Abdul Muthalib. Nama inilah yang kemudian dikenal orang.

Kakek Abdul Muthalib yang bernama Qusay telah­ menjadi penguasa Mekah sejak pertengahan­ abad ke-5 M. Atas perintah Qusay, orang Arab Quraisy membangun tempat tinggal di sekitar Ka’bah sehingga daerah di sekeliling Ka’bah menjadi ramai. Pada masa kepemimpinan­ Qusay, masyarakat Arab yang berdiam di sekitar Mekah mengalami zaman kemajuan.

Qusay­ membangun Dar an-Nadwah (Balai Musyawarah), mendirikan lembaga Rifadah (Lembaga Pajak)­ untuk mengumpulkan pajak serta mempergunakannya­ untuk membantu memberi makan fakir miskin yang berkunjung ke Mekah, menyimpan liwa’ (panji peperangan), mengurus siqayah (pengatur dan penjaga sumber air zamzam), dan meme­gang­ kunci pintu Ka’bah (hijabah).

Semua jabatan dan kedudukan­ yang dipegang Qusay ini kelak diwariskan­ kepada Abdul Muthalib. Di antara anak cucu keturunan Qusay, tampaknya Abdul Muthalib-lah yang pantas mewarisinya karena dalam dirinya terdapat sifat kepemimpinan, seperti bijaksana, tegas, dan adil.

Abdul Muthalib adalah pemimpin yang dapat diterima oleh kabilah Arab pada masanya­. Selama masa kepemim­pinannya ia telah melaku­kan­ hal berikut:

(1) menggali kembali sumber air zamzam dan membuat penampungan untuk air itu;

(2) menyelesaikan pertikaian antar-kabilah yang terjadi pada masanya; dan

(3) mendirikan­ lembaga syarif.

Lembaga syarif yaitu suatu badan pemerintahan yang terdiri atas sepuluh wakil rakyat yang mempunyai sepuluh tugas yang berbeda, yaitu tugas­ hijabah, siqayah, diyat (kekuasaan hakim perdata dan pidana), sifarah (duta atau kuasa usaha negara), liwa’ (pemegang panji peperangan, yakni pangli­ma­ tentara), rifadah (pemungut pajak dan penyedia makanan),­ nadwa (ketua dewan nasional), kha’immah (pengurus balai musyawarah), khazinah (administrasi keuangan negara),­ dan azlam (per­amal pendapat para dewa).

Abdul Muthalib dikaruniai dua belas anak laki-laki dan enam orang anak perempuan­. Yang laki-laki berturut-turut adalah Ha­ris, Abdul Uzza (Abu Lahab), Abi Thalib (Abdul Manaf), Zubair, Abdullah, Dirar, Abbas, Muqawwim, Jaham, dan Hamzah. Nama dua orang lainnya tidak dikenal dalam se­jarah karena mereka tidak meninggalkan keturunan. Adapun anak perempuannya­ berturut-turut adalah Atiqah, Umaimah,­ Arwah, Barrah, Ummi Hakim, dan Shafiyah.

Tiga di antara putranya mempunyai peranan pentin­g­ dalam syiar Islam: Abi Thalib merupakan tulang punggung dan perisai­ yang membentengi perjuangan­ Nabi SAW pada awal dakwah Islamiah, Abbas bin Abdul Muthalib merupakan­ tokoh Quraisy yang juga membantu perjuangan Nabi SAW, dan Hamzah bin Abdul Muthalib adalah panglima­ perang Islam yang gagah berani dan gugur sebagai syahid dalam Perang Uhud.

Abdul Muthalib pernah bernazar bahwa jika ia dikaruniai­ sepuluh anak laki-laki, salah seorang anaknya akan disembelih di samping Ka’bah sebagai kurban untuk para dewa. Demi­kianlah ketika­ anaknya berjumlah sepuluh orang dan ia bermaksud menunaikan nazarnya, ia melakukan­ undian­ untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan dikurbankan.

Dalam undian itu, keluar nama Abdullah, ayah Nabi SAW yang justru merupakan anak kesayangan yang di­cintainya. Tetapi pemuka Quraisy serentak­ sepakat melarangnya dan menganjurkan agar diganti dengan tebusan memo­tong­ sepuluh ekor unta. Setelah Abdul Muthalib mendapat petunjuk dari pemuka agama di Yatsrib yang membenarkan­ penebusan nazarnya, Abdul Muthalib me­nyembelih seratus ekor unta dan terbebas dari kewajiban menyembelih putra­nya.

Peristiwa penting lainnya yang dialami Abdul Muthalib adalah ketika dia harus mempertahan­kan­ rumah suci Ka’bah dari gempuran tentara Abrahah,­ penguasa dari Yaman, yang bermaksud hendak meruntuhkan Ka’bah. Ketika berita me­ngenai rencana penyerangan Abrahah sampai ke telinga penduduk Mekah, para pemuka Quraisy pada waktu itu bermaksud melakukan perlawanan.

Akan tetapi, maksud itu ditentang Abdul Muthalib. Alasannya, Ka’bah ada­lah rumah Tuhan, dan Tuhanlah yang lebih berhak memelihara keselamatannya,­ bukan manusia. Karena itu, Abdul Muthalib mengimbau pendu­duk Mekah agar me­ninggalkan Mekah dan pergi ke lereng bukit meng­hindari Abrahah dan pasukannya yang akan memasuki kota itu dan akan menghancurkan Ka’bah.

Ternyata pen­dapat Abdul Muthalib benar karena Abrahah tidak mampu meruntuhkan Ka’bah, walaupun dia menggunakan pasukan gajah,­ karena Allah SWT terlebih dahulu menghancurkan mereka dengan mengutus burung ababil yang melempari mereka dengan batu kerikil yang sangat panas­ (Al-Qur’an surah al-Fal). Peristiwa ini disebut Tahun Gajah (‘am al-Fal) dan pada tahun itulah Muhammad dilahirkan.

Abdul Muthalib memelihara dan mengasuh Muhammad­ sejak ia ditinggal mati ibunya, Aminah binti Wahhab. Pada waktu itu Muhammad ba­ru berusia 6 tahun. Muhammad berada­ dalam pemeliharaan dan pengasuhan kakeknya­ ini sampai kakeknya meninggal, yakni kira-kira selama 2 tahun.

Abdul Muthalib mencintai dan menya­yangi­ Muhammad lebih daripada cucunya­ yang lain. Bahkan,­ ia lebih mencintai Muhammad­ daripada anaknya sendiri. Kecintaan Abdul Muthalib terhadap diri Muhammad telah diperlihatkan sejak kelahirannya. Ketika baru­ lahir, Abdul Muthalib langsung menggendong cucunya itu dan membawa­nya ke samping Ka’bah untuk dimohonkan doa selamat­.

Pada waktu itu pula ia memberi nama Muhammad­ kepada cucunya­ itu (artinya: orang terpuji). Ketika ditanyakan kepada Abdul Muthalib mengapa memberi nama Muhammad kepada cucunya,­ sementara masyarakat­ pada waktu itu senang­ memberi nama anak mereka dengan nama nenek moyangnya,­ Abdul Muthalib menjawab, “Saya berharap kelak cucuku akan menjadi orang terpuji bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi.”

Sebelum berpulang ke rahmatullah, Abdul Muthalib berpesan kepada Abi Thalib, salah seorang putranya, agar bersedia dan berjanji mengasuh­ dan memelihara cucunya itu dengan sebaik-baiknya. Demikianlah, setelah Abdul Muthalib wafat, pemeliharaan Muhammad dilaksanakan oleh Abi Thalib.

Daftar Pustaka

Haekal, Muhammad Husain. Hayyah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
Ibnu Hisyam, Abdul Malik bin Hisyam al-Himyari. as-Sirah an-Nabawiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halami, 1355 H/1936 M.
an‑Nasir, Sayed Mahmud. Islam: Its Concepts and History, atau Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Adang Affandi. Bandung: Rosda, 1988.
asy-Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987.
–––––––. Studi Komprehensif tentang Agama Islam, terj. Syamsuddin Manaf. Surabaya: Bina Ilmu, 1988.
Ziyadah, Mahmud Muhammad. DirÎsah fÓ at‑TÎrÓkh al‑IslÎmÓ: al‑‘Arab Qabl al‑IsIÎm as‑SÓrÎh an‑Nabawiyyah al‑KhilÎfah ar‑RasyÓdah. Cairo: Dar at‑Ta’lif al‑Maliyah, 1969.
Musdah Mulia