Abduh, Muhammad

Muhammad Abduh (Cairo, Mesir, 1265 H/1849 M – 1323 H/1905 M) adalah seorang pemikir, teolog, mufti, dan pembaru Islam di Mesir pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia ingin menyegarkan kembali ajaran Islam di dunia modern. Sebagai mufti, ia banyak memperbarui hukum Islam. Ia mencoba mencairkan kekakuan dogma Islam dan memperbarui sistem pendidikan Islam, khususnya di Universitas al-Azhar.

Muhammad Abduh adalah putra Abduh bin Hasan Khairallah, yang berasal dari Turki dan telah lama menetap di Mesir. Ibunya berasal dari suku Arab asli. Menurut riwayat, silsilah keturunannya sampai kepada Umar bin Khattab. Abduh lahir pada masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya. Muhammad Abduh dilahirkan dan dibesarkan di Mahallat Nasr.

Abduh mengawali pendidikannya dengan berguru pada ayahnya di rumah. Pelajaran pertama yang diperolehnya adalah membaca, menulis, dan menghafal Al-Qur’an. Hanya dalam jangka waktu 2 tahun, ia telah menghafal seluruh ayat Al-Qur’an. Kemudian, pada usia 14 tahun ia dikirim ayahnya ke Tanta untuk belajar di Masjid al-Ahmadi (al-Jami’ al-Ahmadi). Di sini, di samping melancarkan hafalan Al-Qur’annya, ia juga belajar bahasa Arab dan fikih. Setelah belajar selama 2 tahun, Abduh merasa bosan karena sistem pengajarannya memakai­ metode hafalan. Dengan rasa kecewa Abduh kembali ke Mahallat Nasr.

Pada 1282 H/1866 M Abduh memasuki hidup berumah tangga. Sekitar 40 hari setelah menikah, Abduh dipaksa ayahnya kembali ke Tanta untuk melanjutkan pelajarannya. Dalam perjalanannya ke Tanta, Abduh mengubah haluan menuju Desa Kanisah untuk bertemu dengan pamannya, Syekh Darwisy Khadr. Ia adalah pengikut Tarekat Syaziliyah yang mempunyai wawasan pengetahuan yang luas karena banyak melakukan perjalanan ke luar Mesir.

Melihat Abduh yang dihinggapi rasa bosan dan kecewa dalam menuntut ilmu, Syekh Darwisy memberikan dorongan kepada Abduh agar kembali bersemangat dan bergairah untuk menuntut ilmu. Demikianlah, berkat kesabaran dan kebijaksanaan Syekh Darwisy, Abduh akhirnya belajar kembali. Untuk sementara ia belajar pada Syekh Darwisy dan menekuni ilmu yang kebanyakan menyangkut tasawuf.

Abduh lalu kembali melanjutkan studinya di Masjid al-Ahmadi, Tanta. Beberapa bulan setelah itu ia pergi ke Cairo dan masuk al-Azhar (1866). Di al-Azhar, Abduh tidak menemukan sesuatu yang baru. Materi dan metode pengajaran tidak jauh berbeda dengan yang dijumpainya di Tanta. Abduh menceritakan pengalamannya kepada Syekh Darwisy yang kemudian menyarankan kepadanya agar juga menuntut ilmu kepada ulama di luar al-Azhar. Mengikuti saran Syekh Darwisy, ia kemudian belajar pula ilmu umum yang tidak dipelajarinya di al-Azhar, seperti filsafat, logika, dan matematika, pada Syekh Hasan at-Tawil.

Abduh dan kawan-kawannya berkesempatan berdialog dengan tokoh pembaru, Jamaluddin al-Afghani (1870). Di sinilah awal perkenalan Abduh dengan Jamaluddin al-Afghani yang kemudian menjadi gurunya pula. Melalui Jamaluddin, Abduh mendalami pengetahuan tentang filsafat, matematika, teologi, politik, dan jurnalistik. Bidang pengetahuan yang menarik perhatian Abduh ialah teologi, terutama teologi Muktazilah. Buku yang dipelajarinya adalah Syarh at-Taftazani ‘Ala al-‘Aqa’id an-Nasafiyyah (Penjelasan Taftazani tentang Kepercayaan Aliran Nasafiyah).

Karena tertarik pada pemikiran Muktazilah, Abduh lalu dituduh ingin menghidupkan kembali aliran ini. Atas tuduhan ini ia dipanggil menghadap Syekh al-Laisi, tokoh ulama, penentang Muktazilah. Ketika ditanya apakah akan memilih Muktazilah, ia menjawab dengan tegas bahwa ia tidak bermaksud taklid kepada aliran mana pun dan kepada siapa pun. Ia ingin menjadi pemikir bebas. Peristiwa ini nyaris membuatnya gagal memperoleh ijazah al-Azhar.

Setelah tamat dari al-Azhar 1877, Abduh memulai kariernya sebagai pengajar. Ia juga mengajar di Universitas Dar al-Ulum dengan memegang mata kuliah sejarah. Buku yang diajarkan adalah Muqaddimah Ibn Khaldun. Di al-Azhar sendiri ia mengajar logika, teologi, dan filsafat.

Selain di al-Azhar dan Dar al-Ulum, ia memberi pelajaran khusus di rumahnya, yakni mengenai etika dan sejarah Eropa. Untuk pelajaran etika, ia memilih buku Tahdzib al-Akhlaq (Pembinaan Akhlak) karangan Ibnu Maskawaih, dan untuk pelajaran sejarah, buku sejarah peradaban Eropa karangan F. Guizot. Ketika mengajar, Abduh senantiasa menekankan kepada muridnya agar berpikir kritis dan rasional, dan tidak harus terikat kepada suatu pendapat.

Di samping profesinya sebagai guru, Abduh juga menekuni bidang jurnalistik dengan menulis artikel untuk surat kabar, terutama al-Ahram (Piramid) yang mulai terbit 1876. Kariernya di sini menanjak menjadi pemimpin redaksi al-Waqa’i‘ al-Misriyyah (Peristiwa di Mesir), surat kabar pemerintah yang banyak memuat artikel mengenai masalah sosial, politik, hukum, agama, pendidikan, dan kenegaraan.

Dalam pada itu, di Mesir muncul gerakan yang menentang penetrasi kekuasaan Barat yang dipelopori Jamaluddin al-Afghani dengan nama Gerakan Nasional Mesir. Gerakan ini banyak mengecam kebijakan pemerintah Mesir yang terlalu memberi hati kepada penguasa Barat, yakni Inggris dan Perancis. Pemerintah dengan bantuan Barat berusaha menumpas gerakan ini karena dianggap membahayakan.

Satu per satu pemimpinnya ditangkap dan dipenjarakan, termasuk Muhammad Abduh. Setelah dipenjarakan selama 3 bulan, Abduh diasingkan ke luar negeri. Mula-mula ia pergi ke Beirut, kemudian ke Paris. Di Paris ia bertemu dengan Jamaluddin dan membentuk gerakan yang diberi nama al-‘Urwah al-Wusqa (Ikatan yang Kuat). Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah yang juga diberi nama al-‘Urwah al-Wusqa (1884). Karena mendapat tekanan dari pihak Barat, Jamaluddin dan Abduh meninggalkan Paris. Keduanya lalu berpisah, dan Abduh kembali ke Beirut via Tunis 1885.

Selama di Beirut ia memusatkan perhatian dan kegiatannya pada ilmu dan pendidikan. Ia mengajar tafsir di masjid yang terdapat di kota itu, dan di Madrasah Sultaniyah ia mengajar logika, teologi, sejarah Islam, dan fikih. Di rumahnya ia mengadakan kegiatan diskusi secara rutin, dan pesertanya bukan hanya orang muslim, tetapi juga orang Nasrani.

Pada 1888 Abduh diizinkan kembali ke Mesir. Ia kembali mengajar di al-Azhar, tetapi tidak diizinkan mengajar di Dar al-Ulum. Pemerintah berusaha agar Abduh jauh dari masyarakat. Karena itu, ia diangkat menjadi hakim Pengadilan Negeri di Benha. Dari Benha ia dipindahkan ke Zagazig, lalu ke Cairo dengan tugas yang sama. Selanjutnya pada 1890 ia diangkat menjadi penasihat pada Mahkamah Tinggi, dan akhirnya pada 1899 ia diangkat menjadi mufti Mesir. Pada tahun itu juga ia dipilih menjadi anggota Majlis Syura, dewan legislatif Mesir.

Sebagai seorang teolog, Abduh memiliki corak pemikiran­ rasional, bahkan lebih rasional dari Muktazilah. Hal ini dapat dilihat dari pendapatnya mengenai: 1) konsep iman, 2) sifat Tuhan, 3) perbuatan Tuhan, 4) keadilan­ Tuhan, 5) kekuasaan dan kehendak Tuhan, 6) perbuatan­ manusia, 7) kekuatan akal, dan 8) fungsi wahyu.

Tentang iman, Abduh menjelaskan bahwa iman adalah pengetahuan hakiki yang diperoleh akal melalui argumen yang kuat dan membuat jiwa seseorang menjadi tunduk dan pasrah. Baginya,iman bukan hanya sekadar tasdiq (pengakuan),­ melainkan juga makrifat dan perbuatan. Iman meliputi tiga unsur: ilmu (pengetahuan), iktikad (kepercayaan), dan yakin (keyakinan). Abduh membedakan manusia atas dua golongan, yaitu khawas (orang yang tingkatan ibadahnya sudah tinggi) dan awam (awam). Karena itu, iman pun terbagi dua, iman orang khawas yang disebut iman hakiki dan iman orang awam yang disebut iman taklidi. Bagi orang awam iman hanyalah tasdiq sedangkan bagi orang khawas tidak cukup hanya dengan tasdiq tetapi harus disertai amal baik.

Mengenai sifat Tuhan, dijelaskan dalam buku Hasyiyah Ala Syarh ad-Dawwani li al-‘Aqa’id al-‘Adudiyyah (Komentar terhadap Penjelasan ad-Dawani terhadap Akidah yang Meleset) bahwa sifat Tuhan adalah esensi Tuhan. Untuk itu, ia mengkritik pendapat Abu Hasan al-Asy‘ari (260 H/873 M–324 H/935 M; pendiri aliran teologi Asy‘ariyah yang hidup pada masa Bani Abbas) yang mengakui adanya sifat Tuhan yang berdiri sendiri di luar zat-Nya.

Demikian pula ia mengkritik definisi al-Asy‘ari yang menyatakan bahwa sifat itu bukanlah esensi Tuhan dan bukan pula lain dari esensi. Akan tetapi, dalam buku Risalah at-Tauhid (Risalah Tauhid), Abduh juga menyebut sifat Tuhan. Hal ini dapat dimengerti karena buku Risalah at-Tauhid ditujukan untuk tingkat pendidikan menengah, sehingga isinya disesuaikan dengan kemampuan akal mereka. Hasyiyah sendiri ditujukan untuk tingkat pendidikan tinggi sehingga uraiannya bersifat filosofis. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara pendapatnya yang ditulis dalam Risalah at-Tauhid dan hasyiyah.

Dalam hal perbuatan Tuhan, Abduh mengakui adanya perbuatan yang wajib bagi Tuhan, dan yang mewajibkan perbuatan itu adalah diri-Nya sendiri. Tuhan mewajibkan diri-Nya untuk mengatur alam ini sesuai dengan sunah-Nya demi kepentingan manusia. Perbuatan Tuhan yang wajib itu antara lain berbuat baik kepada manusia dengan tidak memberikan beban atau tugas di luar kemampuan manusia, mengirim para rasul untuk memberi contoh teladan, dan menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga serta menepati ancaman-Nya untuk memasukkan orang berdosa besar ke dalam neraka.

Mengenai soal keadilan Tuhan, Abduh berpendapat bahwa Tuhan maha adil. Tuhan mustahil berbuat aniaya. Karena itu, hukuman dan pahala yang di­berikan kepada manusia sesuai dengan perbuatan jahat dan baik yang telah dilakukannya.

Mengenai kekuasaan dan kehendak Tuhan, Abduh mengakui bahwa Tuhan itu maha kuasa dan maha berkehendak. Meskipun demikian, Tuhan tidak bertindak sewenang-wenang karena bertentangan dengan keadilan-Nya. Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dengan sunah-Nya yang tidak mengalami perubahan.

Menurut Abduh, manusia diberi kebebasan untuk berkehendak dan berbuat. Ia bebas memilih perbuatan mana yang hendak dilakukannya. Untuk itu, manusia dibekali akal untuk berpikir dan dengan akalnya ia mempertimbangkan akibat perbuatannya. Manusia tidaklah bebas secara mutlak. Kebebasannya dibatasi hukum alam ciptaan Tuhan yang disebut sunah Allah SWT (sunatullah). Dengan demikian, Abduh menganut paham Kadariyah (free will), paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatannya sendiri secara hakiki.

Akal dalam sistem teologi Abduh mempunyai kekuatan yang sangat tinggi. Baginya, dengan akal dapat diketahui adanya Tuhan serta sifat-Nya, adanya hidup di akhirat, kewajiban terhadap Tuhan, kebaikan serta kejahatan, kewajiban berbuat baik serta menjauhi perbuatan jahat, dan cara  pembuatan hukum.

Meskipun dengan akal dapat diketahui banyak masalah pokok keagamaan, Abduh tetap mengakui perlunya wahyu diturunkan. Menurutnya, wahyu mempunyai dua fungsi utama, yaitu menolong akal untuk mengetahui secara terperinci kehidupan akhirat dan menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam lingkungan sosialnya.

Selain sebagai teolog, Abduh juga dikenal sebagai pembaru. Ide dan usahanya dalam rangka pembaruan dalam Islam meliputi bidang pendidikan, politik, kenegaraan, dan agama. Di bidang pendidikan, ide dan usaha pembaruannya ditujukan kepada al-Azhar.

Usaha yang dilakukannya adalah: 1) membentuk Dewan Pimpinan al-Azhar yang terdiri atas ulama besar dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali); 2) menertibkan administrasi al-Azhar dengan menentukan honor yang layak bagi pengajar, membangun ruang khusus untuk rektor dan mengangkat para pembantu rektor; dan 3) memperpanjang masa belajar dan memperpendek masa libur.

Hanya saja Abduh gagal mengubah kurikulum al-Azhar karena mendapat tantangan hebat dari ulama.

Di bidang politik dan kenegaraan, Abduh memiliki­ ide yang jauh berbeda dengan Jamaluddin al-Afghani. Al-Afghani menghendaki pembaruan umat melalui pembaruan negara, sedangkan Abduh berpendapat bahwa pembaruan negara dapat dicapai melalui pembaruan umat.

Abduh tidak menghendaki jalan revolusi melainkan jalan evolusi. Oleh karena itu, Abduh tidak menghendaki sikap konfrontatif terhadap penjajah agar dapat memperbaiki umat dari dalam.

Dalam soal kekuasaan, Abduh memandang perlu membatasi kekuasaan dengan konstitusi yang jelas. Tanpa konstitusi akan timbul tindakan sewenang-wenang. Untuk itu, Abduh mengajukan prinsip musyawarah yang dipandangnya dapat mewujudkan kehidupan politik yang demokratis. Dalam bidang kenegaraan, ide Abduh yang terpenting adalah bahwa Islam mundur karena umatnya statis.

Mereka enggan menerima, bahkan menolak pembaruan. Abduh menyeru umat Islam agar kembali kepada ajaran dasar Islam seperti yang dipraktekkan pada zaman klasik Islam dan membuka lebar-lebar pintu ijtihad. Ide pembaruan Abduh banyak mengilhami timbulnya gerakan pembaruan di berbagai dunia Islam pada abad ke-20, termasuk di Indonesia.

Abduh meninggalkan banyak karya tulis, sebagian besar berupa artikel di surat kabar dan majalah. Yang berupa buku antara lain adalah Darus min Al-Qur’an (Berbagai Pelajaran dari Al-Qur’an), Risalah at-Tauhid (Risalah Tauhid), Hasyiyah ‘Ala Syarh ad-Dawwani li al-‘Aqa’id al-‘Adudiyyah (Komentar­ terhadap Penjelasan ad-Dawwani terhadap Akidah yang Meleset), al-Islam wa an-Nasraniyyah ma‘a al-‘Ilm al-Madaniyyah (Islam dan Nasrani bersama Ilmu Peradaban), Tafsir Qur’an al-Karim Juz ‘Amma (Tafsir Al-Qur’an al-Karim Juz Amma), dan Tafsir al-Manar yang diselesaikan muridnya, Syekh Muhammad Rasyid Rida.

Daftar Pustaka

Abduh, Muhammad. Hasyiyah ‘Ala Syarh ad-Dawwani li al-‘Aqa’id al-‘Adudiyyah. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1958.
–––––––. Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen, terj. Mahyuddin Syaf dan A. Bakar Usman. Bandung: Diponegoro, 1978.
–––––––. Risalah at-Tauhid. Cairo: Muhammad Ali Sabih wa Auladuh, 1965.
–––––––. Tafsir Al-Qur’an al-Manar. Beirut: Dar al-Ma‘arif, t.t.
Adonis dan Khalidah Sa‘id, ed. al-Imam Mhammad ‘Abduh. Beirut: Dar al-Ilmli al-Malayin, 1983.
Amin, Ahmad. Zu‘ama’ al-Islah fi-al Asr al-hadis. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
al-Fardan, Syakir. “al-Manhaz al-Wahdi Ladai as-Sayid Jamal ad-Din wa asy-Syaikh Muhammad ‘Abduh,” Risalah at-Taqrib I: 1, 112–127, 1993.
Haddad, Yvonne. “Muhammad Abduh: Perintis Pembaruan Islam,” Para Perintis
Zaman Baru Islam. Ali Rahnema, ed. Badung: Mizan, 1998.
HAMKA. Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Jakarta: Tintamas, 1961.
Kerr, Malcolm H. Islamic Reform: The Political and Legal Theory of Muhammad
Abduh and Rasyid Rida. California: University Press, 1966.
Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah. Jakarta:UI Press, 1987.
–––––––. “The Place of Reason in ‘Abduh’s Theology: its Impact on His Theological System and Views,” Disertasi Doktor Mc.Gill University, 1968.
Rida, Muhammad Rasyid. Tarikh al-Imam al-Usttaz asy-Syaikh Muhammad ‘Abduh. Cairo: Dar al-Manar, 1931.

A. Thib Raya