Abbas Qadi (Ladang Lawas, Bukittinggi, 1285 H/1868 M–21 Syakban 1370/1950 M)
Pendiri Pesantren Ladang Lawas dan tokoh pembaru pendidikan Islam di Minangkabau adalah Abbas Qadi Ladang Lawas. Ia dikenal dengan panggilan “Inyiak Abbas” (Kakek Abbas). Nama kecilnya adalah Abbas bin Wahab bin Abdul Hakim bin Abdul Gaffar. Gelar “qadi” melekat pada namanya karena ia menjabat sebagai hakim di pengadilan Hindia Belanda pada 1923.
Abbas Qadi Ladang Lawas mengawali pendidikannya dengan belajar Al-Qur’an pada Tuanku Mudo (tidak diketahui nama lengkapnya), seorang ulama besar di kampungnya, Ladang Lawas. Setelah tamat belajar di kampungnya, ia belajar ke Biaro, Bukittinggi, pada seorang ulama (tidak diketahui namanya) dengan sistem halaqah (murid duduk bersila melingkari guru). Beberapa tahun kemudian, ia melanjutkan pelajarannya ke Mekah. Sekembali dari Mekah ia membangun Pesantren Ladang Lawas dengan sistem sekolah. Pesantren ini lebih tua dari Pesantren Parabek yang didirikan Syekh Ibrahim bin Musa Parabek (1882–1963). Syekh Abbas Qadi Ladang Lawas adalah murid Syekh Abbas Abdullah (1883–1957), salah seorang pencetus ide pembaruan pendidikan dari sistem halaqah menjadi sistem klasikal.
Sekalipun sistem pendidikan di Pesantren Ladang Lawas ini telah berubah dari sistem halaqah menjadi sistem klasikal, kurikulumnya masih memakai kurikulum lama dengan mempergunakan literatur seperti kitab Matan al-Jurumiyyah, Matan Taqrib, dan Matan Alfiyyah di bidang bahasa Arab, dan kitab I’anatut Tholibin di bidang fikih.
Mata pelajaran yang diajarkan di pesantren Inyiak Abbas ini adalah ilmu fikih, nahwu (tata bahasa), balaghah, tasawuf, tauhid, dan tafsir. Ia sendiri merupakan ulama ahli tasawuf di Minangkabau ketika itu. Di pesantren ini tidak diajarkan ilmu umum sebagaimana yang dilakukan Syekh Abbas Abdullah di Padang Japang (Payakumbuh), Syekh Muhammad Thaib Umar (1874–1920) di Sungayang (Batusangkar), dan Syekh H Abdul Karim Amrullah (1879–1945) di Jambatan Besi (Padangpanjang).
Pesantren Ladang Lawas termasuk dalam kelompok pesantren Tarbiyah Islamiyah yang didirikan pada 1928 di Bukittinggi, yang pemikirannya berbeda jauh dari kelompok H. Abdul Karim Amrullah. Kelompok Tarbiyah Islamiyah dikenal dengan julukan “Kaum Tua”, penganut Ahlusunah waljamaah dan bermazhab Syafi‘i, sedangkan kelompok H Abdul Karim Amrullah, termasuk H. Abdullah Ahmad (1878–1933) dan H. Abdul Hamid Hakim (1311 H/1893 M–1397 H/1959 M), dikenal dengan “Kaum Muda”, yang kelak dikenal sebagai tokoh pendiri Muhammadiyah di Sumatera Barat.
Murid Syekh Abbas Qadi Ladang Lawas cukup banyak dan sebagian menjadi tokoh dan ulama terkenal. Salah seorang di antaranya adalah putranya sendiri, KH. Siradjuddin Abbas, ulama yang ikut mendirikan Liga Muslimin Indonesia 30 Agustus 1952, penulis produktif buku agama, dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pusat.
Setelah diangkat menjadi kadi pada 1923, Syekh Abbas tidak dapat melanjutkan kegiatannya sebagai pembina sekaligus guru di Pesantren Ladang Lawas karena harus pindah ke kota Bukittinggi. Akan tetapi, muridnya tetap mendatanginya dan belajar agama di rumahnya. Karena banyaknya murid yang datang untuk belajar, pada 1924 ia mendirikan Islamic College di Aur Tajungkang, Bukittinggi, dekat rumahnya. Sejak saat itu, para muridnya mendapat kesempatan belajar dengan lebih baik.
Sebelum menjadi kadi, ia termasuk salah seorang ulama yang gigih berjuang melawan penjajahan Belanda. Ketika Belanda memeras rakyat dengan memungut pajak yang tinggi, ia tetap diam. Namun setelah rakyat berontak pada 1908, yang ditandai dengan meletusnya Perang Kamang di Bukittinggi, Perang Lintau Buo di Batusangkar, dan Perang Manggopoh di Kabupaten Agam, ia tidak tinggal diam. Ia terjun bersama-sama rakyat untuk berjuang dalam Perang Kamang melawan Belanda. Ia tertangkap dan dipenjarakan selama lebih kurang 8 bulan.
Pada 1912 Syekh Abbas mendirikan cabang Sarekat Islam dan menjadi presiden Sarekat Islam di Kabupaten Agam. Sejak saat itu ia lebih dikenal dengan gelar “Inyiak Presiden”. Pada 1918 ia mendirikan cabang Sarekat Islam untuk Sumatera. Pada tahun itu juga ia mendirikan sebuah sekolah agama yang diberi nama Arabiyah School (Sekolah Bahasa Arab) di Bukittinggi. Pada 1922 ia diangkat menjadi ketua Persatuan Ulama Sumatera, organisasi yang didirikan dengan tujuan mempertahankan Ahlusunah waljamaah.
Di saat Syekh Abbas menjabat presiden Sarekat Islam Sumatera dan ketua Persatuan Ulama Sumatera, situasi daerah dalam keadaan gawat dan masyarakat selalu mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Dalam menjalankan kebijaksanaan politik untuk mengatasi pertumbuhan organisasi di Sumatera Barat, pemerintah kolonial mencoba mendekati ulama dan pemuka masyarakat. Dalam kaitan inilah Syekh Abbas Ladang Lawas diangkat menjadi kadi. Syekh Abbas menerima jabatan ini dengan tujuan agar ajaran agama Islam lebih dapat berperan pada tingkat peradilan.
Penerimaan jabatan kadi Belanda tersebut mendapat tanggapan pro dan kontra dari ulama ketika itu. Ulama yang setuju berpendapat bahwa duduknya Syekh Abbas sebagai kadi di landraad akan memudahkan para pemuka agama untuk berhubungan dengan Belanda dalam masalah keagamaan, keadilan, dan pendidikan. Di antara ulama yang mendukung adalah Syekh Sulaiman ar-Rasuli (1871–1970), pemimpin Pesantren Candung, Bukittinggi, dan pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Sementara itu kelompok yang tidak menyetujui sikap Syekh Abbas berpendapat bahwa sikap kompromi dengan Belanda hanya akan merugikan ulama, pesantren, dan rakyat. Apalagi Syekh Abbas Ladang Lawas diangkat sebagai kadi ketika rakyat mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda dalam berbagai bidang kehidupan. Di antara mereka adalah Syekh Cangking (pengasuh Pesantren Cangking IV Angkat Candung Bukittinggi) dan Syekh Sungai Landai (pengasuh Pesantren Sungai Landai).
Bagi Syekh Abbas sendiri, dengan menerima jabatan kadi itu tidak berarti pemerintah kolonial Belanda berhasil menarik dirinya, tetapi sebaliknya, justru merupakan keberhasilan bagi dirinya karena ia dapat mempengaruhi peradilan Belanda dengan unsur agama Islam. Sekalipun demikian, banyak kawan seperjuangan yang meninggalkannya, mencari jalan sendiri untuk berjuang melawan penjajah Belanda.
Selaku “Kaum Tua”, Syekh Abbas Qadi Ladang Lawas sering berbeda pendapat dan terlibat polemik dengan “Kaum Muda”, termasuk muridnya sendiri, Syekh Ibrahim bin Musa Parabek. Pendirian “Kaum Tua” yang berpegang teguh pada Mazhab Syafi‘i tetap dipertahankannya sampai akhir hayatnya.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. “The Rise and Decline of Minangkabau Surau: A Traditional Islamic Educational Institution during the Dutch Colonial Rule,” Thesis M.A., Department of Middle Eastern Languages and Cultures, Columbia University, New York, 1988.
Djamal, Murni. Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad Ke-20, terj. Theresia Slamet. Jakarta: INIS, 2002.
Djaya, Tamar. Pustaka Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
HAMKA. Gerakan Pembaharuan Agama di Minangkabau. Padang: Minang Permai, 1969.
Islamic Center Sumatera Barat. Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat. Padang: t.p., 1981.
Mansoer, M.D. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bharatara. 1970.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, atau Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942 terj. Jakarta: LP3ES, 1980.
Schrieke, B.J.O. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, terj. Soegarda Poerbakawatja. Jakarta: Bhratara, 1973.
Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES, 1985.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara, 1979.
Nasrun Haroen