Abangan

Istilah “abangan” digunakan untuk menyebut pemeluk Islam di Jawa, yakni mereka yang tidak begitu memperhatikan perintah agama Islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban agamanya. Mereka mengaku diri sebagai orang muslim, namun cara hidup mereka merupakan perpaduan unsur Islam, Hindu-Buddha, dan unsur asli, atau bercorak sinkretis.

Secara harfiah, abangan berarti “yang merah”, yang diturunkan dari kata dasar abang (merah). Di samping itu ada juga dugaan bahwa istilah abangan muncul sebagai bentuk pengucapan orang Jawa untuk kata bahasa Arab aba’an (ingkar, tidak taat).

Istilah ini bisa mengacu pada golongan yang berpandangan bahwa kepercayaan dan daya hidupnya berlainan dengan muslim yang saleh. Namun, di Jawa Tengah istilah ini pernah juga dipakai sebagai ungkapan sinis yang merendahkan derajat.

Sebagai konsep antropologis, istilah abangan pertama kali diperkenalkan oleh Clifford Geertz (ahli antropologi Amerika Serikat). Dalam konsepnya, ia melihat abangan sebagai padanan –bukan antitesis– bagi golongan bukan santri.

Di samping santri dan abangan, ada lagi istilah priayi. Geertz menggolongkan abangan sebagai mewakili petani desa, santri mewakili pedagang, dan priayi mewakili birokrat. Namun sebenarnya santri dan abangan terdapat pada setiap lapisan masyarakat Jawa, mulai dari wong cilik (rakyat jelata) sampai ndara (bangsawan).

Demikian juga priayi, ada yang abangan dan ada yang santri. Jadi pembagian itu mencerminkan kesadaran beragama secara keseluruhan, sehingga penggolongan itu bersifat nisbi.

Dengan demikian pembagian orang Jawa menjadi abangan, santri, dan priayi berdasarkan stratifikasi masyarakat secara horizontal seperti yang dilakukan Geertz bisa membingungkan, karena tidak didasarkan pada kriteria yang konsekuen. Walaupun demikian, abangan dan santri telah menjadi unsur yang penting dalam proses perubahan sosial, politik, dan agama di Indonesia.

Munculnya abangan pada masyarakat Islam Jawa disebabkan oleh corak Islam yang masuk (syariat dan tasawuf), proses islamisasi yang beragam, dan berpapasan dengan kebudayaan asli Jawa. Misalnya, di tempat agama Hindu yang masih kuat, pengaruh Islam cenderung mencari kompromi.

Hal ini sering berarti timbulnya kesadaran untuk menciptakan sinkretisasi dengan faktor budaya lainnya yang telah datang lebih dahulu. Hasilnya adalah Islam sinkretik sebagai pandangan dunia abangan yang sampai saat ini ditemukan dalam sebagian besar daerah Jawa Tengah bagian selatan.

Ciri-ciri abangan dalam kepercayaan dan amal dapat dilihat dalam upacara yang dilakukan, yang meliputi upacara melakukan perjalanan, penyembahan roh halus, upacara cocok tanam, dan tata cara pengobatan. Semua upacara itu bertumpu pada kepercayaan adanya roh baik dan roh jahat.

Upacara pokok dalam tradisi abangan ialah slametan (mengadakan kenduri). Ini merupakan acara agama yang paling umum di kalangan abangan, yang melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang yang ikut serta dalam slametan itu.

Slametan diadakan pada hampir setiap kesempatan yang mempunyai arti upacara bagi orang Jawa, seperti kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian, hari raya Islam resmi (seperti lebaran dan maulid atau hari kelahiran Nabi SAW), dan upacara panen.

Tujuan utama slametan adalah mencari keadaan slamet (selamat), dalam arti tidak terganggu oleh kesulitan alamiah atau gangguan gaib. Slametan diselenggarakan bukan untuk meminta kekayaan, tetapi upacara ritual untuk menjaga agar tak terjadi sesuatu yang dapat membingungkan atau menyedihkan, yang memiskinkan atau yang mendatangkan penyakit, juga agar orang tersebut terhindar dari perasaan hendak menyerang orang lain, atau dari gangguan emosional.

Slametan biasanya dilangsungkan pada malam hari, setelah terbenamnya matahari. Pelaksana mengundang kerabat dan tetangga untuk datang slametan di rumahnya. Sesudah para tamu berkumpul, tuan rumah menyampaikan kata sambutan dengan memakai bahasa Jawa kromo yang menyampaikan maksud diadakannya slametan.

Seterusnya salah seorang tamu (seorang santri yang tinggal dekat di situ) membacakan beberapa ayat Al-Qur’an atau zikir dan kemudian membacakan doa secara berjemaah. Seusai doa, makanan pun dihidangkan. Kemenyan dibakar selama slametan. Sesudah selesai, para tamu pulang dengan membawa nasi berkat.

Selain slametan yang bersifat pribadi, juga diadakan slametan untuk desa secara keseluruhan yang terkenal dengan istilah sedekah bumi. Kadang-kadang seekor kerbau disembelih, kemudian kepala dan tulangnya dipendam pada tempat itu juga.

Bagi abangan, kebiasaan upacara penghormatan kepada arwah leluhur (atau yang disebut cikal bakal, yakni pendiri desa), sama pentingnya dengan penghormatan terhadap kuburan suci yang disebut kramat (keramat). Di Jawa terdapat banyak kuburan yang dianggap keramat, antara lain makam para wali. Ribuan orang berziarah ke kuburan tersebut untuk mendapat berkat.

Satu benda lagi yang sangat dihormati oleh orang abangan ialah keris. Dalam kisah Jawa, keris dipandang sebagai senjata yang keramat, mempunyai keampuhan, dan menduduki tempat terkemuka di antara tanda kebesaran raja, maupun di antara pusaka yang turuntemurun.

Menurut kepercayaan abangan, keris memiliki kesaktian yang dapat berpindah kepada seseorang yang memegangnya, di samping adanya keris yang bertuah dan membawa keberuntungan.

Golongan abangan percaya pada kemampuan dukun, yaitu seseorang yang mampu mengendalikan roh yang menjadikannya alat bagi keinginan dan hasrat seseorang. Namun ada juga santri yang mengakui kemampuan dukun.

Untuk memperoleh pengetahuan dalam mengendalikan roh, orang abangan ngelmu (menuntut ilmu pengetahuan untuk mendapat hubungan dengan roh). Dengan ngelmu tersebut para abangan berharap akan mendapat kekuasaan, kekayaan, keagungan, dan keselamatan. Ngelmu juga digunakan untuk melakukan balasan dalam bentuk musibah terhadap seseorang yang pernah merugikannya.

Dengan demikian, kepercayaan agama para abangan merupakan hasil dari satu sintesis berabad-­abad dari kepercayaan animis, Buddha, Hindu, dan Islam. Kepercayaan tersebut pada pokoknya didasarkan pada konsepsi ketertiban kosmik dan masyarakat yang ditentukan dalam segala seginya.

Pandangan dunia abangan didasarkan pada keyakinan tentang kesatuan hakiki seluruh kehidupan dan seluruh peradaban. Pandangan ini melihat keberadaan manusia dalam hubungan kosmologis, sedangkan manusia perseorangan memainkan­ peranan yang sangat kecil dalam dunia alamiah sosial secara keseluruhan.

Di samping sebagai golongan sosial religius, abangan memainkan peranan sebagai kekuatan sosial politik. Persaingan antara abangan dan santri pernah menjadi salah satu faktor penentu bagi sejarah sosial dan politik Jawa di negara Indonesia merdeka. Sikap politik golongan santri dan abangan berbeda di bawah pengaruh ideologi politik yang berlainan.

Salah satu hal yang menarik adalah bahwa kelekatan­ ciri abangan ini berangsur-angsur tampaknya semakin menipis, berkurang, dan hilang, baik oleh pengaruh para muslim ortodoks maupun oleh pengaruh Barat.

Daftar Pustaka
Bachtiar, Harsja W., et al. Readings of Islam in Southeast Asia. Singapura: Institute of Southeast Asia Studies, 1985.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. London: Free Press of Glencoe, 1964.
Harjowirogo, Marbangun. Manusia Jawa. Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.
Muchtarom, Zaini. Santri dan Abangan. Jakarta: INIS, 1988.
Mulder, Niels. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1985.

Syahrin Harahap